Dewi,
seorang Ibu yang tinggal di Jakarta, mengeluhkan kedua anak laki-lakinya yang
kelewat bandel. "Kadang kala anak kami (terutama yang sulung) berperilaku
yang membuat kami marah. Padahal, sebelumnya dinasihati secara halus, tetapi
tetap tidak mau mendengar. Akibatnya, terkadang keluar kata-kata dengan nada
yang tinggi bahkan mencubit," ujarnya dengan nada menyesal.
Kepada
HM Ihsan Tanjung yang dimintai konsultasi, Dewi menanyakan tentang bagaimana
sikap yang sebaiknya diambil dalam memarahi anak yang masih balita ini. Dewi
khawatir bertindak di luar kontrol dan "menyakiti" anaknya.
Dewi
juga menanyakan bagaimana seharusnya cara mendidik anak, baik secara fisik
maupun mental, bagi anak-anak balita.
Menurut
Ihsan, sebagai orangtua mestinya bersikap bijak dalam memperlakukan
anak-anaknya sesuai dengan perkembangan usia mereka. Untuk anak usia 0-7 tahun,
Ihsan menganjurkan agar orangtua lebih mengajak anak untuk bermain. Pada usia
sekecil itu, bermain adalah masa mereka dan itu secara psikologis sangat baik
bagi perkembangan kejiwaan anak.
Ihsan
juga menganjurkan untuk usia tujuh hingga 14 tahun anak diajari disiplin
mengenai etika bergaul. Pada usia itu anak memang sangat membutuhkan bimbingan
dengan disiplin yang lebih tegas.
Sedangkan
untuk anak usia 14 tahun ke atas, Ihsan menganjurkan agar orangtua mengambil
sikap tepat dengan menjadikan anak sebagai sahabat. Pada usia seperti itu, anak
mengalami perubahan kejiwaan yang dipengaruhi oleh lingkungannya dalam
pandangan yang berbeda dari sebelumnya. Sehingga mereka membutuhkan tempat
curhat untuk menumpahkan uneg-unegnya. Ihsan menyebutkan
pembagian tersebut sebagai tahapan sikap orangtua terhadap anak. Menurut
konsultan keluarga itu, anak belum mencapai kesempurnaan akalnya sebelum usia
tujuh tahun. Sebelum usia itu ia belum sempurna dalam memahami perintah dan
larangan serta belum memahami kewajiban dan tanggung jawab.
Bagi
mereka yang berusia di bawah itu, bermain adalah bekerja itu sendiri, bermain
adalah kehidupannya dan kegembiraannya, bermain adalah mata pelajaran resminya.
Dengan
bermainlah ia belajar. Karena itu, anak di bawah usia itu sering belum bisa
serius dalam aktivitas keagamaan selain ikut-ikutan.
Jika
Anda mengharapkan anak usia tiga tahun untuk mengikuti aturan sikap anak usia
tujuh tahun ke atas, misalnya duduk diam ketika bertamu. Atau tidak penasaran
mengkotak-katik barang yang bukan mainannya, tidak berlari kian ke mari di
dalam rumah, berarti harapan itu berlebihan.
Selain
anak itu belum sanggup mengikuti aturan demikian, juga kasihan sebab kita akan
mengganggu keasyikannya menjelajah dunia dengan pola pikirnya sendiri.
Demikianlah,
sering kali kemarahan dan kekesalan kita terhadap anak lebih disebabkan oleh
anak itu yang tidak memenuhi harapan kita, ketimbang karena anak itu memang
sengaja membuat kita marah. Persoalannya sekarang, apakah harapan kita memang
wajar ataukah berlebihan?
Alasan
Sepele
"Saya
sering menemukan bahwa anak seusia itu bahkan memukul anak lain dengan alasan
sepele, senang melihat anak lain menangis.
Bahkan,
terkadang anak usia tiga tahun itu belum benar-benar tahu bahwa memukul adalah
ekspresi kemarahan atau membalas pukulan. Bagaimana pun kita dapat menuduh
bahwa anak tersebut dengan sengaja memang ingin menyakiti anak lain.
Anak
belajar dari apa yang ia lihat di lingkungan terdekatnya. Jika di lingkungan
terdekatnya ia biasa melihat kekerasan, ia adalah penggemar kekerasan dan
pelaku kekerasan kecil-kecilan. Jika yang dilihatnya di lingkungan terdekatnya
adalah ekspresi kelemahlembutan, kasih sayang dan saling menghormati, ia pun
akan menjadi anak yang penyayang, santun, dan lemah lembut.
Kemudian,
jika kita membahas masalah pengaruh lingkungan terhadap anak, lingkungan yang
buruk sangat potensial membuat anak berkembang menjadi karakter yang buruk
pula. Kata-kata yang buruk, perilaku yang buruk dan kasar, bahkan sampai
ke gaya dan kebiasaan hidup dipelajari anak dari lingkungan.
Karena
itu, sebagai orangtua kita wajib menjaga dengan siapa anak Anda bermain, apa
yang biasa ia dengar, apa yang biasa ia lihat dan siapa yang biasa berinteraksi
dengannya setiap hari.
Jika, orangtua mengabaikan faktor itu,
jangan heran jika orangtua tidak sanggup mengendalikan anaknya saat bandel
sebab orangtua sudah tidak tahu lagi siapa dan apa yang menyebabkan anaknya
demikian.
No comments:
Post a Comment