Saturday 17 January 2015

EL MATADOR ( parti de rien )




Madrid, Spanyol. Bunyi dawai gitar lembut mengalun dari musisi jalanan di sudut kompleks pertokoan. Bangunan-bangunan tua menjulang angkuh menantang zaman. Sedang saat ini daun-daun mulai menguning, sebentar lagi kan gugur berserak menyampah di taman Parque del Retiro.
Hari ini pertama kali Anna menginjakkan kakinya di bumi para matador. Sekian ribu mil terpisah dari rumahnya di Kanada. Namun Corrida de Torros, pertarungan manusia vs banteng, serasa terus mengusik hatinya. Baginya, pertarungan itu menggambarkan bagaimana kesabaran mengalahkan amarah. Ketenangan mengalahkan ketergesaan.
Biru mata Anna memandang pintu Plaza de Toros de Las Ventas (Las Ventas), bangunan bercat pink dengan beribu jendela. Sekilas mirip istana indah tempat tinggal raja.  Namun orang akan segera tahu, apa bangunan bundar itu bila masuk di dalamnya. Bangunan itu hanyalah pagar tepi dari sebuah lapangan tempat para matador menyabung nyawa. Sejurus kemudian pandangannya beralih pada poster seorang El Matador de Toros (matador). Wajah tampan Carlos Munoz tampak garang berompi traje de luces warna ungu dengan hiasan warna emas. Sangat serasi dengan kemeja putih dengan dasi merah di dalamnya. Tangan kanannya memegang montera (topi matador).Minggu depan Munoz akan bertarung dengan banteng di tempat ini.Segera Anna menuju ke loket. Sekitar 29 Euro untuk mendapatkannya. Lelaki setengah baya penjaja ticket coba mengerlingkan mata menggoda. Kaca mata hitam yang melekat, membuat Anna menyaksikan semuannya tanpa harus beradu pandang. Toh semuanya biasa. Laki-laki akan tertarik pada perempuan, demikianpun perempuan, akan tertarik laki-laki. Semuanya normal. Semuanya akan menyebalkan bila kita ditatap laki-laki yang tidak kita inginkan.
Anna hanya diam, meski dalam hati ia ingin tertawa memperhatikan penjual ticket yang tak jua melepaskan tatapannya, sambil mengelus kepalanya yang agak botak. Segera diayunkan langkahnya kembali ke Las Ventas. Lama ditatapnya wajah Munos. Poster Munos seakan nyata. Sorot mata itu begitu tajam menusuk jantungnya. Tanpa sengaja tangan Anna membelai raut wajah Munos. Angin dingin berhembus seolah tahu apa yang Anna rasakan. Munoz begitu mempesona, pantas ia dikenal dan disayang bak Pangeran Madrid.
Pertandingan berawal pada petang, ketika matahari hanya menyinari setengah lapangan. Las Ventas berubah bagai taman. Gadis-gadis cantik berpakaian warna-warni memenuhi stadium. Gadis-gadis  hispanic terlihat sexy dengan pakaian mini. Sementara Anna yang blonde terlihat jelas, putih bagai salju di musim panas.
  Dua orang penunggang kuda masuk ke dalam gelanggang. Mereka berpakaian hitam , bertopi bulu memberikan penghormatan. Bunyi terompet mengiringi tiga matador masuk gelanggang. Diiringi sembilan orang banderilleros (pemegang bendera) yang berompi dengan warna perak dan sembilan orang picador (penunggang kuda). Dalam satu pertandingan, seorang matador memang ditemani tiga orang banderilleros dan tiga orang picador. Gemuruh iringan drum band semakin menambah haru biru parade Passeillo, pembukaan . Bagaikan sepasukan tentara mereka berbaris berjalan menuju panggung kehormatan.
  Dari balik kaca mata hitam, Anna terus menatap Munoz yang sangat gagah berdiri di tengah diapit dua matador lain. Senyum Muntoz berbalas lambai tangan para gadis. Para gadis semakin histeris memanggil namanya. Munoz memang sang primadona. Meski dua matador yang lainpun memiliki wajah dan bentuk tubuh yang menawan.
  Upacara pembukaan selesai, para picador memasuki ruangan. Meninggalkan para matador dan banderilleros melakukan pemanasan, mengibas-kibaskan red cape (kain merah). Suasana menjadi mencekam. Banteng terluka dilepas memasuki arena. Binatang itu besar dan kekar dengan raut muka penuh amarah. Dengus nafasnya mengepulkan asap kebencian. Sesaat mata banteng dan para matador saling bertatap. Di gelanggang ini hanya ada perasaan membunuh. 
  Para picador, penunggang kuda dengan vara (tombak) di tangan kembali memasuki gelanggang. Kuda itu selimuti peto (matrass) dengan mata tertutup agar tidak panik melihat banteng. Para picador bertampang sangar, dengan sikap siap siaga. Berulang kali mereka mengokang kuda agar melaju sesuai keinginannya. Perlahan mereka mendekati banteng, menusuk punggungnya. Amarah sang banteng menggelegak, ditanduknya kuda hingga meringkik, tubuhnya tampak bergoyang.
 Tiga orang banderilleros mulai beraksi. Masing-masing membawa sepasang banderillas, tongkat pendek warna warni. Ditusuknya punggung banteng dengan banderillas. Darah mengucur. Sang banteng mengamuk mengejar penyerangnya. Para banderilas berlari menyelamatkan diri, bersembunyi di papan pinggir lapangan. Banteng hitam bertubuh kekar itu berlari ke sana kemari meminta pertanggungjawaban.
********

  Riuh tepuk tangan menggema. Saat Munoz ditinggalkan melawan banteng seorang diri. Semua pengunjung menarik nafas dalam-dalam. Aroma kematian menebar menusuk hati. Perlahan tangan sang matador mengeluarkan cape merah. Amarah banteng semakin terlihat jelas. Kakinya menjejak-jejak ke tanah, menerbangkan debu. Matanya menatap sang matador yang berdiri di depannya sambil menghunus muleta (pedang).
 Banteng berlari menyerbu. Tanduk tajamnya coba koyak muleta merah. Gerak reflek Muntoz mempermainkan banteng, bersambut applause. Munoz semakin bersemangat dan percaya diri, Sementara sang banteng semakin marah, menyerbu tanpa mengenal kenal lelah. Muleta itu  merah bersimbah darah. 
  Para penonton melambai-lambaikan saputangan putih. Tak terkecuali Anna. Saputangan putih berkibar dari tangan kanannya yang mengacung.  Sementara tangan kirinya memegang topi jerapi agar tidak terlepas dari kepalanya. Rambut merah jagungnya teruai ditiup angin. Hati Anna berdesir kala tatap Munoz menemukannya..
  Dan pertempuranpun usai. Munoz seakan memahami perilaku banteng. Banteng itu tidak lagi menyerang Munoz. Ia bahkan di bawah kendali Munoz. Segera tangan Munoz mengisyaratkan banteng untuk berhenti. Gemuruh tepuk tangan kembali membahana kalla Munoz memberikan isyarat pada banteng untuk merunduk memberikan salam.  Beruntung President Las Ventas memberikan indulto (pengampunan), sang banteng bisa kembali pulang ke peternakan.
 Memang terdengar agak konyol. Bila Tuhan menciptakan manusia mengandung ferrum (besi) yang tersembunyi dalam metalprotein. Kemudian ferrum memengangkut oxygen dan electron dalam proses pembentukan energy.
Dan besi akan menjadi magnet, bila ia mengalami proses magnetisasi. Terkungkung dalam kondisi Curie temperature (770 derajat celcius). Manusiapun mengalami proses yang sama. Rasa cinta, bisa tumbuh saat dua insan berada dalam kondisi “Currie Temperature”.
********

Santa María la Real de La Almudena berdiri megah di madrid. Almudena Chatedral, mengakhiri penderitaan ratusan tahun Madrid sebagai ibu kota negara tanpa gereja. Semenjak ibu kota Spanyol dipindah dari Toledo tahun 1561. Pendirian gereja sudah sering dibicarakan, namun baru tahun 1993, semuanya bisa terealisasikan.  
Anna tampak berdoa di bawah patung Sang Maria. Patung Sang Maria menggendong sang Al Masih berwarna keemasan. Latar belakang mozaik cerita kelahiran Yesus, makin menenggelamkan kenangan pada suasana masa silam. Anna berdoa dengan tangannya dikatupkan. Pejam mata Anna hanya diterangi cahaya lilin temaram.
  Selesai berdoa, bergegas menuruni altar. Jantung Anna serasa terhenti. Munos berada tepat didepannya. Wajahnya dingin, acuh tak acuh. Begitu saja ia melewati Anna. Sejurus kemudian ia tampak khusyuk berdoa di depan patung sang Maria.  Diurungkan niatnya untuk meninggalkan gereja. Dibiarkan dirinya duduk sendiri dibelakang, bersama deretan bangku-bangku kosong.
 Munoz selesai berdoa. Tatapan matanya masih saja dingin. Dengan langkah tegap ia beranjak meninggalkan gereja. “Hola…..,me llamo Anna Smith,” coba Anna memperkenalkan nama. “Antonio Munoz….,” jawab Munoz sambil menjabat tangan Anna. Memerah wajah Anna menatap Munoz. Semuanya bagai mimpi yang tak bisa diceritakan.  Keduanya tampak bagai manusia-manusia mungil di antara besar dinding gereja.
 “De donde es usted ?” Tanya Munoz. “ Soy de Canada,”jawab Anna. Munoz tersenyum memperlihatkan putih giginya. “Lugar Encatador (tempat yang indah),” kata Munoz. Anna serasa terbang dipuji sedemikian rupa. Sesaat kemudian keduanya tampak akrab. Berjalan sambil berbincang ke luar gereja.
*********
  
Pertemuan di gereja, begitu membekas dalam hati keduanya. Di balik sikapnya yang garang, Munoz sosok yang sangat enak diajak berbicara. Dan sepertinya, Munozpun terpikat oleh kecantikan Anna. Rasa ketertarikan satu sama lain, meruntuhkan dinding penyekat. Semuanya mengalir wajar.  
Kehidupan Anna di Spanyol berubah seketika. Menjadi indah dan penuh warna. Hari-hari dilewati dengan penuh canda. Di samping Munoz seakan kehidupan terasa mudah dilaluinya. Hingga kini keduanya kerap bertemu dalam setiap waktu.
Kehidupan malam Madrid menjadi akrab bagi Anna. Sering  terlihat mereka bergabung dengan para botellon. Bersama-sama menikmati hangatnya minuman keras. Tak jarang tercium bau asap cannabis (ganja) dari mulut para “porro” (pecandu). Bottellon, kadang sangat mengganggu. Kaum muda madrilènes tidak hanya puluhan, tapi kadang mencapai ratusan orang. Polisi datang untuk mengusir mereka.
 Namun, sebagai “orang terkenal” Munoz tidak bisa seenaknya menyusuri Madrid. Mereka akhirnya memilih Barcelona sebagai tempat untuk mengekspresikan cintanya. Dengan mobil sport milik Munoz, perjalanan Madrid-Barcelona serasa penuh kenangan. Semuanya masih agak kaku, meski dalam hati Anna ingin memeluk dan mencium Munoz.
 Barcelona, kota terpadat setelah Madrid terkesan sangat erotis. Kota ini memiliki pantai yang indah, berbatasan dengan Prancispemandangan yang tidak dapat dijumpai di Madrid yang hanya terkungkung daratan. Barcelona juga rival Madrid dalam arti sebenarnya. Sebagian besar warganya lebih merasa sebagai penduduk Catalonia dari pada sebagai warga Spanyol. Munozpun harus berhati-hati karena merekapun tidak menyukai orang-orang Madrid !
 Sengaja Munoz memilih check-in di hotel sekitar La Barcelonita. Pantainya pernah menjadi pantai terbaik di dunia. Bar dan restaurant tak sulit dijumpai sepanjang jalan. Muntoz terlihat sedikit cape setelah menyetir lama. Malam pertama mereka habiskan di restaurant. Menikmati sebotol wine ditemani alioli tapas. Tapas (appetizer) roti yang dilumuri alioli, minyak khas Catalan bercampur garlic (bawang putih), di samping menu lainnya.
“Si es usted ok ( kamu baik-baik saja) ?” Tanya Munoz. Anna tersipu, ternyata Munoz begitu memperhatikannya. “Estoy bien (aku tidak apa-apa)”, Jawab Anna. “Esta comida es muy deliciosa (makanan ini sangat enak),”Lanjutnya. Munoz tersenyum, memperlihatkan lesung pipinya. “Gracias(terima kasih untuk kebaikanmu),”ucap Anna. “Thanks for you too,” Jawab Munoz dengan terbata.
Malam semakin larut. Munoz membawa Anna ke hotel. “Tengo une reserve (Saya sudah memesan kamar),” Ucap Munoz pada sang reseptionist. “ A nombre de qui (Atas nama siapa)?” Carloz Munos. “Senior Munoz. Su habitachi cinco-cero-quatro (Ini kunci kamar anda 504).” Ucap resepsionist. “Muchas gracias (terimakasih),”Ucap Munoz.
 Dan Anna pun melakukan hal yang sama. Keduanya memang tinggal di kamar yang terpisah. Sebelum berpisah, Munoz mencium tangan Anna. Kemudian berkata “Good night Anna.” Annapun membalasnya,” Good night Munoz…..”.  Anna menyandarkan diri pada diding kamar, betapa Munoz sangat mempesona dalam pandangannya.
*******

Hari ke tiga, mereka berkesempatan menikmati hangatnya pantai setelah hari sebelumnya Barcelona dirundung mendung. Pohon palem berderet di sepanjang pantai, mengantikan nyiur yang sering dijumpai di daerah tropis. Kamar kubus besi bercat coklat, terlihat miring. Kamar-kamar itu bagai tumpukan kardus yang diberi korden berdiri menantang lautan.
Anna menggunakan bikini dan panty jingga serasi dengan kulitnya yang putih. Lekuk tubuhnya terlihat sangat mempesona. Sementara itu, Munoz bertelanjang dada dan hanya menggunakan celana pendek dengan motif bunga, terkesan santai. Namun tubuhnya yang athletis, dengan kalung emas berbandul salib. Membuat orang berfikir dua kali untuk mengganggu. Dalam hati keduanya saling mengagumi fisik satu sama lain.
********

Malam di nightclub Barcelona. Berdua mereka memasuki club dengan membayar 15 Euros per orang dengan sekali welcome drink gratis.  Irama music menghentak dari sajian live yang selalu berganti. Gadis-gadis berpakaian sexy tersenyum menatap Munoz yang berpakaian ketat memamerkan gurat ototnya. Gadis-gadis itu mengerling sambil mempermainkan jemari coba menggoda. Kemudian mereka terdiam saat sadar Anna memperhatikan tingkah mereka.
Munoz selalu menawan. Membimbing Anna menikmati alunan Salsa. Tatap mata Munoz tajam tak mau lepas. Anna tak kuat menahannya, kadang ia harus menundukkan wajahnya. Memandangi kaki-kaki Munoz yang lincah. Anna memekik kecil, ketika tangan nakal Munoz mengusap pangkal pahanya. Sesaat kemudian, tangan itu bergerak memeluk pinggangnya. Beruntung nightclub bersuasana remang-remang, meski sesekali sorot warna-warni laser lights menyapu wajahnya.
Alunan music Salsa membuat Anna serasa gila. Riuh trombone dan timbales sangat dominan. Sesekali terdengar pula iring tepuk tangan dari para pengiringnya. Sang penyanyi menyanyikan lagu memuja negara-negara Amerika Latin, tempat kelahiran salsa.  Anna terus memegang erat Munoz, seakan takut terlempar.
  Selepas clubbing, pengaruh alcohol membuat Anna tak merasakan dinginnya malam. Berdua mereka berjalan menuju hotel. Munoz memeluk Anna yang terhuyung agar tidak jatuh. Segera Munos membantu Anna membukakan kamarnya. “Good night Anna,” ucap Munoz. Namun tanpa sengaja, tangan Anna terus memegang tangan Munoz seolah tak mau melepaskan. Dua pasang bola mata itu saling menatap.
  Pengaruh alcohol memanaskan darah Munoz. Tatapan mata itu makin mempercepat momentum curie temperature. Ferrum (zat besi) yang ada dalam tubuh keduanya menjadi ferromagnetic (material magnet yang berasal dari besi). Tak kuasa mereka menahan daya saling menarik dari dua kutub yang berbeda: Laki-laki dan perempuan.
 Dipeluknya Anna, kemudian diciumnya bibir gadis itu. Anna hanya terdiam ketika tangan Munoz melucuti lingerie hitamnya. Dalam keadaan setengah sadar, coba Anna memberikan semua yang Munoz harapkan. Ingin Anna melebur dalam tubuh Munoz. Sama seperti Munoz yang berusaha meleburkan semuanya pada dirinya.
  Kamar itu bagaikan pentas di Las Ventas. Sedang Anna terombang-ambing bak cape merah. Sementara Munoz tidak sesabar El Matador. Muntoz tak ubahnya bagai  Toros, sang banteng itu sendiri. Hingga akhirnya keduanya saling berkatup erat, sama seperi ferromagnetic yang memiliki daya tarik lebih kuat dari material magnet lainnya.
********
 Semenjak itu Munoz sering mengunjungi Anna, bahkan bermalam bersamanya.  Munos menjadikan tempat tinggal mereka selalu bercahaya. Tiap waktu ada cerita, bagai mana ia mengalahkan banteng di tengah Las Ventas.  Munoz sangat expresif di depan Anna, menyibakkan kesan angkuh seorang El Matador.
Namun sayang, ternyata Anna tidak pernah dapat memiliki cinta Munoz untuk pribadi. Ada wanita-wanita lain dalam hati Munoz. Kehadiran mereka memaksa cinta Anna untuk berbagi. Namun Anna berusaha untuk mengerti. Hidup bersama tanpa ikatan syarat dengan ketidakpastian.
 Hingga akhirnya Anna tidak kuat untuk menanggung semuanya. Dua tahun lamanya mereka hidup bersama. Dua tahun lamanya pula beribu pertanyaan mendera. Tentang sebuah kepastian, persiapan menjalani masa depan.
Kemudian Munoz membelakanginya. Semuanya berubah mencekam kala mereka bersama. Anna marah karena Munos tak kunjung memiliki niat untuk menikahinya.  Namun ia hanya dapat menangis, menyadari keniscayaannya selama ini.
  Dibantingnya gelas dihadapan, sebagai buah kekecewaan. Darah mengalir dari jemari Anna kala serpihan beling mengelupas kulit. Semuanya berantakan dalam sekejap. Bunga yang pagi ini baru diganti berserak di lantai. Semuanya seram mencekam. Munoz memperhatikan semuanya dengan tatap mata dingin, bagai Kaisar Nero yang menikmati kala Roma terbakar pada Abad 64.
Cinta Anna pada Munoz telah merasuk kedalam hati. Menimbulkan hasrat bersatu ingin memiliki. Padahal, suhu panas yang melampai curie temperature justru akan menjadikan magnet mengalami demagnetisasi. Saat gerakan molekulmelepaskan diri dari semua unsur kemagnetan. Tinggalah besi, mendingin. Terpisah satu sama lain.
Sendiri lebih berarti dari pada berdua tanpa terucap sepatah kata. Dan Annapun memutuskan kembali ke Canada.
********

Sepeninggal  Anna, nafsu liar Munoz semakin menjadi meski tak seliar Caesar Augustus Germanicus (Caligula). Perempuan-perempuan cantik didatangkan, untuk kemudian ia tinggalkan. Semua percintaan berlalu hanya meninggalkan kesan persetubuhan. Entah berapa banyak perempuan yang tersakiti. Munoz tetap tidak ambil perduli.
 Dinginnya hati Munoz, sedingin masa lalunya. Terlahir dari keluarga petani miskin dari kota kecil Leon. Munoz remaja mengadu nasib seorang diri di gemerlap kota Madrid nan angkuh.  Manusia tidak lagi mementingkan hati nurani. Di sini, Munoz tak lebih dari the hunchback of notre dame. Chatedral, Ave Maria, satu-satunya tempatnya berkeluh kesah.
  Hingga akhirnya Munoz bertemu dengan Antonio Ordonez, seorang pelatih matador. Betapa bangganya Munoz kali pertama mengenakan traje de luces. Namun Munoz juga merasakan, rompi itu bisa rompi kematian bagi orang-orang miskin yang coba menghibur naluri kebinatangan orang-orang kaya. Mereka akan bersorak sorai kala bahaya menghadangnya, kala nyawanya benar-benar di ujung tanduk.
********

Satu-satunya impian Munoz, menundukkan touro de lide seberat 500 kg yang merupakan banteng terganas di dunia ini. Tidak ada masalah bagi Munoz menundukan species bos taurus ibericus itu. Semuanya lebih mudah dari perkiraan.
Orang sering menyesali kegagalan, padahal kegagalan memperkaya pengalaman. Keberhasilan sering tidak  memberikan apa-apa, selain kejenuhan. Kini, Munoz merasa sepi. Sendiri dipuncak menara kesuksesan. Berjumlah perempuan yang acap bersamanya hanya mendatangkan kehampaan.
 Hari ini, kembali El Matador beraksi di Las Ventas. Pertandingan ini hanya hiburan, melawan banteng yang tidak begitu besar. Para gadis menyoraki sang arjuna yang pasti pulang membawa kemenangan.
 Dan bantengpun mulai berlari liar, coba melakukan balas dendam pada mereka yang telah melukainya. Merah mata sang binatang coklat kemerahan itu memandang Munoz. Sang Matador terus menari dengan cape merah memancing amarah. Sang banteng menanduk, Munos berkelit menari diiringi teriakan ,”Ole…..!”
 Tiba-tiba Munos menunjukkan jarinya ke arah banteng. Pedangnya tetap menyangga cape merah. Sang banteng memburu, coba menancapkan runcing tanduknya ke cape. Semua mata ingin mengabadikan bagaimana Munos berkelit. Namun Munos membiarkan semuanya terjadi.
 Tanduk itu merobek perutnya.  Sesaat kemudian diombang-ambingkan Munoz bagai boneka jerami. Darah memercik wajah dan pakaiannya. Semua orang berteriak. Gadis-gadis berpaling sambil menutupi wajah. Banderilleros dan picador datang coba menyelamatkan. Ditusuknya punggung banteng untuk menarik perhatian. Sang banteng beralih menyerbu picador.  Meninggalkan Munos yang berselimut debu. Tak lama kemudian, berbagai macam media, menyiarkan “tragedy” ini
***********

    Sebulan kemudian, tampak Munoz di Chatedral melakukan rezar (doa). Kali ini tidak seperti sebelumnya. Munoz menangis sambil memegangi keningnya. Sebenarnya, ketika Anna melukai tanggannya dengan gelas, hati Munoz terasa hancur. Ingin ia menangis, mencegah kenekatan kekasihnya. Namun saat itu, Munoz masih merasa sebagai El Matador De Toros yang harus selalu menjaga wibawanya.
Hingga kemudian hati kecilnya semakin kuat melawan keangkuhannya.  Dan saat itu ia ingin membalaskan kebodohannya dengan membiarkan dirinya merasakan tajam tanduk Banteng. Munoz sadar, hatinya kini ada di Canada. Bahu Munoz berguncang, memyangga semua kegalauan sesekali terdengar igauan “Pardoname Anna (Maafkan).”
 Ditatapnya patung Sang Maria. Wajah perempuan itu teduh. Hatinya bagai tanah lapang, tempat Munoz menumpahkan semua kekesalan. Selesai berdoa, bersiap Munoz meninggalkan altar.
Langkah Munoz terhenti.  Anna berdiri dihadapannya. Anna mendengarkan semua keresahan kekasihnya. Segera Anna memeluk Munoz sambil berucap,” Te quiero Munoz (I love you).”  Munoz masih terpana tak percaya. Kemudian Anna membuka kaca mata hitam Munoz, mengusap air mata kekasihnya. “Te quiero Anna,” Ucap Munoz. Dada Munoz terasa bergetar. Baru kali ini ia mengucapkan kata cinta. Kembali cinta Anna dan Munoz bersatu bagai waktu itu. Cinta kali ke dua, menuju cinta yang dewasa.

To Be Continue ....

No comments:

Post a Comment