Madrid, Spanyol. Bunyi dawai
gitar lembut mengalun dari musisi jalanan di sudut kompleks pertokoan.
Bangunan-bangunan tua menjulang angkuh menantang zaman. Sedang saat ini
daun-daun mulai menguning, sebentar lagi kan gugur berserak menyampah di taman Parque del Retiro.
Hari ini pertama kali Anna
menginjakkan kakinya di bumi para matador. Sekian ribu mil terpisah dari
rumahnya di Kanada. Namun Corrida de Torros, pertarungan manusia vs banteng,
serasa terus mengusik hatinya. Baginya, pertarungan itu menggambarkan bagaimana
kesabaran mengalahkan amarah. Ketenangan mengalahkan ketergesaan.
Biru mata Anna memandang pintu
Plaza de Toros de Las Ventas (Las Ventas), bangunan bercat pink dengan beribu
jendela. Sekilas mirip istana indah tempat tinggal raja. Namun orang akan
segera tahu, apa bangunan bundar itu bila masuk di dalamnya. Bangunan itu
hanyalah pagar tepi dari sebuah lapangan tempat para matador menyabung nyawa. Sejurus
kemudian pandangannya beralih pada poster seorang El Matador de Toros
(matador). Wajah tampan Carlos Munoz tampak garang berompi traje de luces warna
ungu dengan hiasan warna emas. Sangat serasi dengan kemeja putih dengan dasi
merah di dalamnya. Tangan kanannya memegang montera (topi matador).Minggu depan
Munoz akan bertarung dengan banteng di tempat ini.Segera Anna menuju ke loket.
Sekitar 29 Euro untuk mendapatkannya. Lelaki setengah baya penjaja ticket coba
mengerlingkan mata menggoda. Kaca mata hitam yang melekat, membuat Anna
menyaksikan semuannya tanpa harus beradu pandang. Toh semuanya biasa.
Laki-laki akan tertarik pada perempuan, demikianpun perempuan, akan tertarik
laki-laki. Semuanya normal. Semuanya akan menyebalkan bila kita ditatap
laki-laki yang tidak kita inginkan.
Anna hanya diam, meski dalam
hati ia ingin tertawa memperhatikan penjual ticket yang tak jua melepaskan
tatapannya, sambil mengelus kepalanya yang agak botak. Segera diayunkan
langkahnya kembali ke Las Ventas. Lama ditatapnya wajah Munos. Poster Munos
seakan nyata. Sorot mata itu begitu tajam menusuk jantungnya. Tanpa sengaja
tangan Anna membelai raut wajah Munos. Angin dingin berhembus seolah tahu apa
yang Anna rasakan. Munoz begitu mempesona, pantas ia dikenal dan disayang bak
Pangeran Madrid.
No comments:
Post a Comment