Sunday 10 January 2016

Kisah Cerita El Matador Part I


Madrid, Spanyol. Bunyi dawai gitar lembut mengalun dari musisi jalanan di sudut kompleks pertokoan. Bangunan-bangunan tua menjulang angkuh menantang zaman. Sedang saat ini daun-daun mulai menguning, sebentar lagi kan gugur berserak menyampah di taman Parque del Retiro.
Hari ini pertama kali Anna menginjakkan kakinya di bumi para matador. Sekian ribu mil terpisah dari rumahnya di Kanada. Namun Corrida de Torros, pertarungan manusia vs banteng, serasa terus mengusik hatinya. Baginya, pertarungan itu menggambarkan bagaimana kesabaran mengalahkan amarah. Ketenangan mengalahkan ketergesaan.
Biru mata Anna memandang pintu Plaza de Toros de Las Ventas (Las Ventas), bangunan bercat pink dengan beribu jendela. Sekilas mirip istana indah tempat tinggal raja.  Namun orang akan segera tahu, apa bangunan bundar itu bila masuk di dalamnya. Bangunan itu hanyalah pagar tepi dari sebuah lapangan tempat para matador menyabung nyawa. Sejurus kemudian pandangannya beralih pada poster seorang El Matador de Toros (matador). Wajah tampan Carlos Munoz tampak garang berompi traje de luces warna ungu dengan hiasan warna emas. Sangat serasi dengan kemeja putih dengan dasi merah di dalamnya. Tangan kanannya memegang montera (topi matador).Minggu depan Munoz akan bertarung dengan banteng di tempat ini.Segera Anna menuju ke loket. Sekitar 29 Euro untuk mendapatkannya. Lelaki setengah baya penjaja ticket coba mengerlingkan mata menggoda. Kaca mata hitam yang melekat, membuat Anna menyaksikan semuannya tanpa harus beradu pandang. Toh semuanya biasa. Laki-laki akan tertarik pada perempuan, demikianpun perempuan, akan tertarik laki-laki. Semuanya normal. Semuanya akan menyebalkan bila kita ditatap laki-laki yang tidak kita inginkan.
Anna hanya diam, meski dalam hati ia ingin tertawa memperhatikan penjual ticket yang tak jua melepaskan tatapannya, sambil mengelus kepalanya yang agak botak. Segera diayunkan langkahnya kembali ke Las Ventas. Lama ditatapnya wajah Munos. Poster Munos seakan nyata. Sorot mata itu begitu tajam menusuk jantungnya. Tanpa sengaja tangan Anna membelai raut wajah Munos. Angin dingin berhembus seolah tahu apa yang Anna rasakan. Munoz begitu mempesona, pantas ia dikenal dan disayang bak Pangeran Madrid.


No comments:

Post a Comment