Sunday 10 January 2016

Kisah Cerita El Matador Part II


Pertandingan berawal pada petang, ketika matahari hanya menyinari setengah lapangan. Las Ventas berubah bagai taman. Gadis-gadis cantik berpakaian warna-warni memenuhi stadium. Gadis-gadis  hispanic terlihat sexy dengan pakaian mini. Sementara Anna yang blonde terlihat jelas, putih bagai salju di musim panas.
  Dua orang penunggang kuda masuk ke dalam gelanggang. Mereka berpakaian hitam , bertopi bulu memberikan penghormatan. Bunyi terompet mengiringi tiga matador masuk gelanggang. Diiringi sembilan orang banderilleros (pemegang bendera) yang berompi dengan warna perak dan sembilan orang picador (penunggang kuda). Dalam satu pertandingan, seorang matador memang ditemani tiga orang banderilleros dan tiga orang picador. Gemuruh iringan drum band semakin menambah haru biru parade Passeillo, pembukaan . Bagaikan sepasukan tentara mereka berbaris berjalan menuju panggung kehormatan.
  Dari balik kaca mata hitam, Anna terus menatap Munoz yang sangat gagah berdiri di tengah diapit dua matador lain. Senyum Muntoz berbalas lambai tangan para gadis. Para gadis semakin histeris memanggil namanya. Munoz memang sang primadona. Meski dua matador yang lainpun memiliki wajah dan bentuk tubuh yang menawan.
  Upacara pembukaan selesai, para picador memasuki ruangan. Meninggalkan para matador dan banderilleros melakukan pemanasan, mengibas-kibaskan red cape (kain merah). Suasana menjadi mencekam. Banteng terluka dilepas memasuki arena. Binatang itu besar dan kekar dengan raut muka penuh amarah. Dengus nafasnya mengepulkan asap kebencian. Sesaat mata banteng dan para matador saling bertatap. Di gelanggang ini hanya ada perasaan membunuh. 
  Para picador, penunggang kuda dengan vara (tombak) di tangan kembali memasuki gelanggang. Kuda itu selimuti peto (matrass) dengan mata tertutup agar tidak panik melihat banteng. Para picador bertampang sangar, dengan sikap siap siaga. Berulang kali mereka mengokang kuda agar melaju sesuai keinginannya. Perlahan mereka mendekati banteng, menusuk punggungnya. Amarah sang banteng menggelegak, ditanduknya kuda hingga meringkik, tubuhnya tampak bergoyang.
 Tiga orang banderilleros mulai beraksi. Masing-masing membawa sepasang banderillas, tongkat pendek warna warni. Ditusuknya punggung banteng dengan banderillas. Darah mengucur. Sang banteng mengamuk mengejar penyerangnya. Para banderilas berlari menyelamatkan diri, bersembunyi di papan pinggir lapangan. Banteng hitam bertubuh kekar itu berlari ke sana kemari meminta pertanggungjawaban.
********

  Riuh tepuk tangan menggema. Saat Munoz ditinggalkan melawan banteng seorang diri. Semua pengunjung menarik nafas dalam-dalam. Aroma kematian menebar menusuk hati. Perlahan tangan sang matador mengeluarkan cape merah. Amarah banteng semakin terlihat jelas. Kakinya menjejak-jejak ke tanah, menerbangkan debu. Matanya menatap sang matador yang berdiri di depannya sambil menghunus muleta (pedang).
 Banteng berlari menyerbu. Tanduk tajamnya coba koyak muleta merah. Gerak reflek Muntoz mempermainkan banteng, bersambut applause. Munoz semakin bersemangat dan percaya diri, Sementara sang banteng semakin marah, menyerbu tanpa mengenal kenal lelah. Muleta itu  merah bersimbah darah. 
  Para penonton melambai-lambaikan saputangan putih. Tak terkecuali Anna. Saputangan putih berkibar dari tangan kanannya yang mengacung.  Sementara tangan kirinya memegang topi jerapi agar tidak terlepas dari kepalanya. Rambut merah jagungnya teruai ditiup angin. Hati Anna berdesir kala tatap Munoz menemukannya..
  Dan pertempuranpun usai. Munoz seakan memahami perilaku banteng. Banteng itu tidak lagi menyerang Munoz. Ia bahkan di bawah kendali Munoz. Segera tangan Munoz mengisyaratkan banteng untuk berhenti. Gemuruh tepuk tangan kembali membahana kalla Munoz memberikan isyarat pada banteng untuk merunduk memberikan salam.  Beruntung President Las Ventas memberikan indulto (pengampunan), sang banteng bisa kembali pulang ke peternakan.


No comments:

Post a Comment