Melihat
anak berbuat salah, orang tua ataupun guru sering tak kuasa untuk tidak
memberikan hukuman badan pada si anak.
Padahal,
hukuman fisik itu belum tentu perlu. Sebab, hukuman macam ini justru sering
berdampak buruk. Ada cara lain yang lebih baik dan patut dianut.
Kita
masih ingat, pada tahun 1960-an atau 1970-an, masih banyak orang tua yang
menghukum anak dengan sabetan gagang kemucing atau sapu, hanya gara-gara anak
memecahkan piring murahan, tidak mau disuruh ke warung atau mengerjakan PR.
Atau kalau di sekolah, ada guru yang menghukum anak push up sampai pucat pasi
lantaran terlambat datang. Pikir mereka, si anak bakal jera melakukan kesalahan
yang sama.
Kini,
hukuman badan justru sering digugat efektivitasnya oleh kalangan orang tua,
para pendidik, maupun psikolog. Hukuman badan ada kalanya memang berdampak
positif. Namun, terbuka pula peluang untuk melahirkan dampak negatif.
Secara
filosofis, orang tua merasa bertanggung jawab untuk mendisiplinkan dan
menghukum anak demi kebaikan si anak sekarang dan kelak. Bahkan, secara
tradisional pun, hukuman badan telah diterima sebagai salah satu metode sangat
efektif untuk mengendalikan dan mendisiplinkan anak. Hal ini didukung oleh
masyarakat yang percaya bahwa hukuman badan penting untuk mencegah degradasi
moral, baik dalam kalangan rumah tangga maupun masyarakat.
Di
sekolah, hukuman badan masih sering digunakan. Banyak guru atau para pendidik
berpendapat, ketakutan murid pada hukuman fisik akan menambah kekuatan atau
kewibawaan guru. Dengan demikian sang murid akan lebih mudah dikendalikan.
Namun, ini bukanlah satu-satunya cara untuk mengendalikan murid atau anak. Ada banyak
metode yang bisa dipilih untuk menumbuhkan kepatuhan atau kedisiplinan. Namun,
jika semua metode tersebut sudah tidak mempan, hukuman badan bisa dijadikan
jalan terakhir untuk menumbuhkan kepatuhan.
Bisa
berakibat buruk
*
Terhadap hukuman yang diterima, si anak bakal memberikan reaksi aktif atau
pasif.
Reaksi
aktif dapat dilihat saat hukuman berlangsung. Umpamanya, berteriak,
mengentak-entakkan kaki, dll. Sedangkan reaksi pasif pada umumnya tidak
ditunjukkan di depan orang tuanya. Contohnya, menyalurkan kemarahan kepada
adiknya atau pembantu rumah tangganya.
Sebenarnya secara psikologis, manusia
mempunyai kapasitas dan kemampuan untuk berbuat baik atau buruk. Hukuman badan
mungkin akan mendukung perbaikan perilaku buruk mereka. Jika digunakan secara
tepat, hukuman badan akan menjadi cara paling tepat untuk menurunkan atau
mengurangi kelakuan yang tidak bisa diterima.
Contohnya,
acap kali orang tua memberikan hukuman badan bila anak tidak mau melakukan aktivitas
tertentu macam membuat PR atau melakukan latihan-latihan lain. Dalam kasus ini,
hukuman badan dapat merusak keinginan atau motivasi anak untuk mengerjakan
aktivitas tersebut. Sehingga aktivitas berikutnya dilakukan karena paksaan atau
rasa takut, bukan karena keinginannya sendiri, dan dilaksanakan semata-mata
hanya untuk menghindari hukuman. Pekerjaan yang demikian akan dirasakan anak
tidak nikmat.
Hukuman
fisik, menurut Neil A.S. Summerheil asal AS dalam bukunya A Radical Approach to
Children Rearing, merupakan suatu usaha untuk memaksakan kehendak. Walaupun
tujuan utamanya untuk menegakkan disiplin anak, tindakan ini dapat berakibat
sebaliknya. Anak menjadi frustrasi. Selanjutnya, anak hanya merespons pada
tujuan hukuman itu sendiri. Banyak anak merasa bahwa menerima hukuman badan
tidak terhindarkan, sehingga mereka menjadi resisten (kebal) terhadap hukuman
tersebut. Hukuman badan tidak membuat mereka melaksanakan suatu aktivitas
dengan baik. Sebaliknya, anak akan cenderung membiarkan dirinya dihukum
daripada melakukannya.
James
Dobson asal Illinois, AS, dalam bukunya Dare to Dicipline menekankan, hukuman
badan tidak akan mencegah atau menghentikan anak melakukan tindakan yang salah.
Ganjaran fisik ini justru bisa berakibat buruk. Bahkan, dapat mendorong anak
untuk meneruskan dan meningkatkan tingkah lakunya yang salah. Riset ahli lain,
Leonard D. Eron, menunjukkan hukuman fisik dikhawatirkan malah mendorong anak
untuk bertingkah laku agresif.
Celakanya,
orang tua sering kali malah bereaksi terhadap agresivitas ini dengan
menggunakan cara yang salah, misalnya dengan meningkatkan intensitas serta
frekuensi hukuman badan. Tidak heran kalau anak kemudian malah meniru tingkah
laku agresif orang tua atau orang dewasa yang menghukumnya. Di sini secara tidak
sadar orang tua telah mengajarkan anak untuk berperilaku agresif.
Gunakan
hukuman variatif
*
Hukuman badan secara fisiologis dan psikologis memiliki dampak jangka pendek
dan panjang.
Efek
fisik jangka pendek misalnya luka memar, bengkak, dll. Sedangkan dampak fisik
jangka panjang misalnya cacat seumur hidup. Efek psikologis jangka pendek,
misalnya merasa marah, sakit hati, jengkel untuk sementara waktu. Dampak ini
tentu lebih ringan dibandingkan dengan efek psikologis jangka panjang, seperti
merasa dendam yang mungkin sampai bertahun-tahun.
Bahkan, Philip Greven dalam bukunya
Spare the Child: The Religious Roots of Punishment and the Psychological Impact
of Physical Abuse menyatakan, efek psikis jangka panjang itu termasuk
disasosiasi bermacam bentuk seperti represi atau amnesia, pikiran terbelah
serta kekurangpekaan perasaan.
Hukuman
yang muncul karena orang tua khawatir kehilangan kewibawaan, bukan upaya untuk
menunjukkan kasih sayang atau melatih anak agar disiplin pada aturan, akan
menimbulkan reaksi negatif. Menurut Neil, anak akan merasa hukuman sebagai
lambang kebencian orang tua kepada mereka. "Tidak heran kalau kemudian
anak bereaksi negatif," tegasnya.
Arnold
Buss seorang psikolog dalam bukunya Man in Perspective mengingatkan, bila
hukuman diberikan terlalu sering dan anak merasakan hal ini tidak dapat
dihindarkan, anak akan membentuk rasa ketidakberdayaan (sense of helplesness).
Anak tidak belajar apa pun dari hukuman tersebut, tetapi cenderung menerimanya
tanpa merasa bersalah. Konsekuensinya, menurut ahli dari Kanada ini, hukuman
tidak mempunyai arti apa-apa bagi mereka. Rasa tidak berdaya ini dapat
dikurangi dengan menggunakan hukuman yang variatif, tidak monoton.
Kondisi
bertambah parah apabila anak mempunyai pandangan negatif terhadap dirinya
sendiri sehingga anak tidak dapat memisahkan antara perilaku dengan kepribadian
mereka yang sebenarnya. Mereka lalu menganggap dirinya memang bukan anak yang
baik, tidak lagi memandang bahwa kelakuan mereka yang salah. Akibatnya, anak
akan merasa rendah diri. Bila rasa tidak berdaya terhadap rasa rendah diri ini
terbentuk, maka anak akan terus memandang diri mereka sebagai anak yang tidak
baik. Akibatnya, mereka akan terus berperilaku buruk. Mereka pikir memang
begitulah orang lain memandang dirinya. Dalam kasus ini kemungkinan untuk
memperbaiki keadaan itu sangat sulit.
Tanpa
hukuman badan
*
Menurut Debby Campbell, seorang pendidik asal Ottawa, Kanada, dalam bukunya
About Dicipline and Punishment, efektivitas hukuman badan lebih tergantung pada
metodenya ketimbang frekuensinya.
Setiap
kali menerima hukuman, memang anak akan jera untuk melakukan kesalahan yang
sama. Namun setelah menerima hukuman, pada umumnya anak akan berusaha menarik
perhatian orang tuanya untuk memperlihatkan penyesalan mereka atas perbuatan
buruknya. Setelah situasi emosional berakhir, sering kali anak ingin berada
dalam pelukan orang tuanya.
"Saat
ini orang tua harus menyambut dengan pelukan hangat, penuh kasih sayang. Di
sini pembicaraan dari hati ke hati antara anak dan orang tua perlu
dilakukan," tambah Dobson. Di sinilah hukuman berdampak positif karena
dapat meningkatkan perasaan cinta kasih antara anak dan orang tua.
Sebenarnya ada berbagai cara untuk
mendidik anak agar mereka menaati suatu aturan atau melaksanakan suatu
aktivitas. Tidak perlu harus dengan hukuman badan. Sekali lagi, hukuman badan
harus dipandang sebagai jalan terakhir.
Jalan
terbaik antara lain dengan memberikan teladan yang baik. Dengan demikian si
anak akan mempelajari tentang apa yang boleh dan tidak boleh mereka perbuat.
Metode non-hukuman badan bentuk lain adalah metode time out dengan mengisolasi
si anak dalam ruangan kurang nyaman baginya selama beberapa menit. Atau, anak
diminta mengerjakan sesuatu yang kurang menyenangkan baginya, misalnya
membersihkan kamar mandi, menyapu, dilarang menonton TV seharian, dll. Namun
hendaknya anak diberi peringatan sebelum hukuman dilaksanakan.
Jika
hukuman badan tidak dapat dihindarkan, A.M. Cooke dalam bukunya Family Medical
Guide memberikan beberapa saran hukuman badan seperti apa yang patut dilakukan:
*
Memukul anak dengan menggunakan telapak tangan terbuka pada pantat, kaki, atau
tangan.
*
Hukuman diberikan cukup satu kali sehari.
*
Jangan memberikan hukuman badan pada anak yang berusia kurang dari 1 tahun.
*
Sedapat mungkin hindari hukuman pada saat orang tua sedang pada puncak emosi.
* Hukuman diberikan singkat dan
sungguh-sungguh, segera setelah kesalahan dilakukan. *
No comments:
Post a Comment