Sunday 10 January 2016

Ihou Jin Part II

TIC lumayan megah. Front Officer juga sangat ramah. Apalagi ketika mereka mengucapkan “selamat datang”.  Cukup membuat Rafly dan Eko terperangah. Sejurus kemudian Miki memintanya untuk memberikan kunci kamar Rafly dan Eko. Mereka menginap di lantai lima dengan nomor kamar saling bersebelahan. Setelah berbincang sejenak, Miki menyatakan undur diri.
Jam dinding menunjukkan pukul 10 pagi. Korden tebal berwarna krem itu disibak. Tinggallah korden putih tipis menutupi kaca jendela. Cahaya matahari menerobos, mengganti kegelapan. Perlahan Rafly merebahkan diri di atas kasur “Allah hu Akbar , Dia Yang Maha Besar”. Itulah kata-kata sakti yang sering Rafly ucapkan kala tubuh didera kelelahan.
Dibiarkannya koper itu teronggok tak tersentuh. Dering telepon memekakkan. Malas Rafly mengangkat gagang telepon itu. Si seberang, terdengar suara Eko, "Hallo Raf, jam berapa lo keluar. Kita bareng makan siang ya?"  "Oke, oke. Gw mo ngeberesin pakaian terus mandi. Ntar gw telpon lo deh," jawab Rafly.  "Siip....," seru Eko. Sejurus kemudian terdengar nada putus.
Kamar itu boleh terbilang sempit, hanya ada satu tempat tidur. Lemari pakaian, berdekatan dengan meja belajar. Disudut ruangan terdapat kulkas kecil disamping safety box.
Dikurasnya koper itu. Dalam sekejap, semua pakaian tersusun rapi di lemari. Angin menyusup masuk kala jendela dibuka. Rafly berdiri  di atas balcon kecil itu, menikmati hembus angin dan hangatnya mentari. Setelah serasa cukup. Jendelapun ditutup.
Bergegas Rafly membersihkan diri di kamar mandi. Deras
air tercurah dari shower menghunjam badan. Serasa hangat menyegarkan. Setelah semuanya usai,  sengaja bath-up ditutup, menahan air untuk tidak mengalir. Rafly bisa mengerti mengapa berendam di onzen (air panas alami) sangat popular di Jepang.
***
Wekker berdering mengingatkan. Sekarang sudah jam 11:30 siang. Mereka keluar kamar, memasuki lift dengan memencet angka 1. Pintu terbuka, petugas keamanan membungkuk sambil memberi salam ,”konnichiwa (selamat siang).” “Konnichiwa,”  Balas keduanya.
“Raf, gw nggak nyangka, gedung ini besar juga ya. Ada aula untuk olah raga, meja bilyard, ruang karaoke, auditorium. Itu kantor ya?” Tanya Eko penuh heran. “Iya, betul. Gimana kalau kita ke ruang informasi barang kali ada hal penting yang bisa kita keketahui,” tawar Rafly.
Ruang informasi ada di lantai 2, di sana mereka bisa mengakses internet, meskipun ada ruang khusus internet di lantai tiga. Lantai 2 juga tempat untuk meminjam buku ataupun video. Semuanya gratis.
“Gimana kalau kita langsung ke kantin, di basement?”  Tanya Rafly. “Up to you aja,” balas Eko. Syoukudou (kantin) itu lumayan besar. Dengan view taman yang hanya dibatasi kaca. Makanan-makanannya juga sangat beragam perpaduan lima benua. “Lo makan apa Raf?” Tanya Eko. “Matton kare (kare kambing) dengan naan (roti khas India) itu sepertinya enak ya?”  jawab Rafly. “Ok, gw juga mau,” kata Eko menimpali. Sejurus kemudian mereka duduk bersebelahan berhadapan dengan makanan yang telah mereka pesan.
“Dari Indonesia ya?”. Suara itu terdengar menggelegar. Berdua mereka menoleh. Lelaki tinggi besar dengan kening yang menghitam tampak menyodorkan tangan mengajak bersalaman. “Azis,”  sapa lelaki itu. Tak ketinggalan disampingnya lelaki berbadan sedang, dengan senyum ramah juga ikut memperkenalkan diri. Namanya Pak Wayan. Pak Azis adalah dosen dari Surabaya, sedangkan Pak Wayan, pejabat dinas pariwisata Bali. Berbincang keduanya sambil makan. Dari mereka pula, Rafly dan Eko mendapatkan undangan untuk bergabung berkaraoke malam ini jam 8.
***
Ini kali pertama, Rafly mengunjungi tempat karaoke. Dalam kepalanya, karaoke identik dengan tempat yang kurang baik. Tempat para wanita muda nan cantik “berjualan semuanya”.  Alangkah kagetnya, ketika di tempat karaoke TIC ini, hanya dijumpai perempuan-perempuan dan laki-laki separuh baya nan bersahaja.
Senyum para Ibu mengembang. Teringat Rafly kata-kata seseorang. Perempuan-perempuan selalu meramaikan pengajian ataupun kebaktian. Dan ingin Rafly tambahkan,  “Hari ini perempuan-perempuan itu berjubel berkaraokean”.  “Ini yang namanya Mas Rafly dan Mas Eko ya, kenalkan saya Hamidah” seru ibu berjilbab merah dengan kacamata tipis. Rafly dan Eko hanya mengangguk. Di sudut ruangan, Pak Azis dan Pak Wayan Nampak tersenyum.
“Ayo Pak Lurah….acaranya dimulai dong….sudah gatel pengin nyanyi nih,” seru lelaki gendut, disudut lain. Pak Azis mulai berdiri memberikan kata sambutan. “Lurah” sebutan bagi koordinator orang-orang Indonesia yang menginap di sana. Penunjukkan sebagai “lurah” karena Pak Azis paling awal tinggal di TIC.
" Assalamualaikum Wr. Wb. Salam Sejahtera. Karaokean malam ini bertujuan untuk melepas kepulangan Pak Adi yang akan kembali bertugas di departemen kehutanan Riau setelah menyelesaikan program masternya. Kemudian kita juga kedatangan dua warga baru: Pak Rafly dan Pak Eko dari Jakarta yang berprofesi sebagai dosen. Silahkan berkenalan dengan mereka. Billahi taufik walhidayah wassalamu alaikum Wr. Wb,” ucap Pak Lurah Azis.
Satu persatu pengunjung memperkenalkan diri. Mereka kebanyakan para pegawai negeri dari bermacam instansi. Ada yang kesini untuk melanjutkan study, ada juga yang hanya mengikuti training selama beberapa bulan. Semuanya berjumlah 15 orang termasuk Rafly dan eko. Dengan 9 orang diantaranya kaum perempuan.
“Ayo, siapa yang mau request, nih remote controlnya,” seru Pak Wayan. Satu persatu peserta memasukkan lagu-lagu pilihannya. Microphone berlari-lari berpindah tangan. Mereka bernyanyi ditemani makanan kecil dan minuman.  Jus jeruk, air mineral, teh dalam botol.
“Pak Lurah “Azis Marantika” dan Ibu “Esther Dewi Yull” mana nih suaranya?” Seru peserta menyemangati. “Oalah….suara sember saja kok dikangenin...,”  merendah Bu Esther menjawabnya. Perempuan cantik kepala dinas kesehatan dari Salatiga itu, sangat pintar menyanyi. Ia juga penyanyi gereja. Sementara Pak Azis, hanya mengandalkan bakat alam. Hobi sebenarnya, mengutak-atik computer. “Bu, jangan ada dusta di antara kita ya?” canda Pak Azis. Membuat semuanya gerrrrr.
“Berikutnya, kita panggil instruktur aerobic kita, Ibu Hajjah Hamidah…..” seru Pak Wayan kemudian. “Seperti biasa, mari kita rapatkan barisan, ikuti instruksi saya. One, Two, Three… go....,” perintah Bu Hamidah. Perempuan bercucu satu, kepala dinas pendidikan Bandung. Sejurus kemudian kami semua berpoco-poco ria. Balenggang pata-pata, ngana pe goyang pica-pica….
“Waktu sudah hampir habis, ayo siapa yang mau maju?”  Seru Pak Wayan… Mendadak semuanya terdiam. Tiba-tiba terdengar celetukan, ” Lha Pak Sekdes  sendiri kan yang belum dapat giliran?” “Kalau saya bisanya tari Bali….,” jawab Pak Wayan sekenanya. Semua orang berteriak ,“Hu………!”

Ruang karaoke yang tadinya cukup hening nan sejuk, berubah menjadi berisik dan serasa panas. Di luar negeri, orang Indonesia terkenal sangat “nasionalis”. Suasananya mirip dengan tahun 1945, ketika masih kental semangat kebangsaan, untuk berjuang mengusir penjajah. Di sini, merekapun kembali terikat solidaritas kebangsaan. Solidaritas sebagai  I hou jin.

No comments:

Post a Comment