Sunday 10 January 2016

Ihou Jin Part III

Pagi nan cerah. Udara sejuk, cenderung dingin. Sisa-sisa hujan masih membasahi jalan. Gemuruh air menderu dari dalam selokan. Seekor kupu-kupu menghisap sari bunga. Kepak sayapnya terlihat anggun. Terpana Rafly menatap kejadian alam dihadapannya.
Tuhan menciptakan hewan dan tumbuhan mengikuti garis ekosistem. Kupu-kupu butuh bunga, bunga butuh kupu-kupu untuk menyebarkan serbuk sari. Bunga tidak pernah habis meski kupu-kupu terus mengambil sarinya.
Tapi apa jadinya, bila sang kupu-kupu tidak hanya mengambil sari bunga untuk dirinya, tetapi di jual pada kupu-kupu lain. Kupu-kupu akan saling bertarung menguasai taman. Kesenjangan tercipta. Ada kupu-kupu kaya, di samping kupu-kupu miskin. Mungkin juga ada negara kupu-kupu kaya ada juga negara kupu-kupu miskin.
***

Hari ini hari minggu, warga Indonesia berencana berbelanja di flea market, pasar barang antik, namun lebih pantas disebut pasar barang bekas. Rumah orang Jepang yang sempit memaksa mereka memilih membuang yang lama dari pada menimbun atau mewariskan barang bekas. Bahkan, sering televisi,  radio, sepeda tergeletak di jalan begitu saja.
Deru kereta membisingkan kepala. Orang-orang diam, hanya para penumpang Indonesia itu terus berbincang, berkata-kata. Pak Azis tersenyum-senyum sambil memberikan isyarat agar diam. Namun, bukankah kita sudah terbiasa. Peraturan dibuat untuk dilanggar. Para ihoujin terus saja berbicara entah apa itu topiknya.
Tiba-tiba Eko menyenggol Rafly sambil setengah berbisik, " Raf, yang ini bisa dibungkus bawa pulang nggak?"  Rafly seolah tersihir untuk mengikuti tatapan mata Eko. Matanya tertumbuk pada pemandangan perempuan cantik dengan dandanan yang sangat sexy. "Biarin saja, jangan diliatin begitu,"  jawab Rafly. "Sayang mubazir, Raf.....dua gunung itu seperti  mau meletus....rok itu bener-bener super mini, apa nggak dingin......," ngotot Eko.  "Ko, lihat gw. Seandainya gadis itu, saudara atau bahkan adikmu sendiri, apa lo akan tetap berkata-kata sama?" Eko hanya terdiam. "Sialan lo Raf...gw jadi nggak nafsu. Udah ngomong yang lain aja deh....,"  Eko mencoba mengalihkan perhatian. Laki-laki lebih sering mengukur dunia dengan dirinya. Perempuan-perempuan sexy itu bukan untuk dipandangi dan dihakimi. Biarkan mereka menikmati menjadi diri mereka sendiri.
Makin lama kereta berjalan. Makin mengangah sebuah perbedaan. Kereta berhenti. Rombongan itu melanjutkannya dengan jalan kaki. Perasaan "asing" mulai menyergap. Nama toko,  jalan semuanya tertulis dalam huruf kanji. Rombongan itu seolah menyusut ditengah keramaian  "manusia asing".
Orang-orang terlihat bagai patung berjalan. Diam tanpa tegur sapa. Sering Rafly hampir bertabrakan. Dari arah berlawanan tiba-tiba muncul. Ke kanan kah, ke kiri kah, atau lurus kah, semuanya tidak pasti. Orang-orang berjalan hanya memikirkan diri sendiri.
Sepanjang perjalanan, tidak sedikit toko memasang iklan lowongan dengan jumlah gaji yang ditawarkan. Tenaga kerja, digaji perjam. Kebanyakan 1000 yen. Tentu lebih besar lagi bila kerja malam. Kerja sehari di Jepang mungkin bisa dipakai hidup sebulan di Indonesia!
***

Di Flea market itu, rombongan tiba. Ternyata sudah pula berkerumun teman-teman TIC dari berbagai bangsa. Mereka mengerubuti barang-barang murah, bagai kawanan gagak mengerubuti sampah. Itulah mengapa para ihoujin, identik dengan kaum miskin. Kemiskinan yang sengaja dipertahankan.
Negara-negara maju, hanya memberikan bantuan, mustahil menyerahkan kesetaraan. Manusia-manusia, dikotak-kotakkan berdasarkan asal negara. Dunia dibangun di atas piramida makanan. Negara-negara miskin, underdevelopment countries, negara bodoh tanpa kekayaan alam. Negara-negara berkembang, development countries, kaya tapi bodoh. Negara-negara maju, developed countries, miskin tapi pintar. Negara-negara miskin tapi pintar ini kemudian mengeksploitasi negara golongan lain atas nama teknologi, value added. Juga hutang atas nama bantuan, termasuk suap atas nama beasiswa. Masalahnya, apakah para ihoujin itu mengerti. Mengapa mereka di sini ?
Perlahan, punggung-punggung para ihou jin seolah semakin mengecil. Entah kapan, mereka akan pulang, berhadapan dengan kenyataan. Ilmu mereka tidak bisa diterapkan. Terdengar satu dua selentingan, diantara mereka tertanam benih asmara. Jangankan memikirkan negara, kehidupan pribadi hampir musnah tiada arti. Banyak diantara mereka pulang tanpa membawa apa-apa. Hanya pengalaman sebagai ihoujin saja.

No comments:

Post a Comment