Sunday 10 January 2016

Ketika Kau Adalah Tuhanku Part III

Air mengalir dari mata air. Jernih, tak berwarna tak berasa, kemudian turun ke sungai. Orang desa mandi dan mencuci di sana. Sungai mengalir melewati kota, Orang-orang membuang limbah industri ke dalamnya. Air jernih menghitam, berbau menyengat. Jangankan diminum, bila tertempel bisa gatal-gatal. Anehnya, orang kemudian menyesali air sungai yang kotor, bukan menyalahkan para manusia berotak kotor.
Agama, diajarkan oleh para nabi dan orang suci. Para murid, para sahabat mengintepretasikan sesuai dengan kemampuan diri sendiri. Dan, semakin tersebar suatu agama, semakin besar pengikutnya, semakin pelik pula konflik kepentingan di dalamnya. Agama tidak lagi jernih. Terkotori oleh kepentingan ekonomi, politik, pribadi, dan entah kepentingan apa lagi.
Anehnya, orang kemudian menyalahkan agama. Bukan menyalahkan mereka yang mengotori agama. Bahkan, sebagian dari mereka tidak mempercayai lagi ajaran agama. Mereka menjadi agnostic ataupun menyebut dirinya sebagai kaum post religion. Hanya percaya Tuhan tanpa agama. Bahkan agama diolok-olok bak cerita seram dari masa silam.
Langit menghitam. Petir menyambar, suara guntur menggelegar. Sejurus kemudian turunlah hujan. Titik-titik air berkumpul. Di gunung, hutan dan bukit tidak lagi sanggup menampung. Mereka gundul, berganti bangunan dan jalanan. Air berlari menyusuri sungai dan selokan. Tetapi, debit air hujan terlalu besar bagi mereka yang telah terpenuhi sampah dan kotoran. Orang-orang panik ketakutan. Sampah dan kotoran memenuhi meja-meja makan. Semuanya menjadi sulit untuk dijelaskan.

Di kantor, setelah makan siang, Harumi m,encoba meringankan pemikiran dengan membaca koran. Tertulis seorang ibu yang sengaja mendorong anaknya dari jembatan penyeberangan tanpa alasan. Mungkin sang ibu hanya ingin mendengarkan lengking jerit kematian anak yang terpelanting dari ketinggian. Sebelumnya juga tersiar kabar, remaja-remaja SMP membakar kaum homless tanpa alasan. Mereka hanya ingin mendengarkan jerit suara kesakitan. Semuanya menjadi sulit dijelaskan, mengapa di Jepang terjadi kejahatan.
Semuanya berawal akibat kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Amerika menyangka fundamentalisme masyarakat jepang pada Sang Kaisarlah pemicu PD II. Kemudian, mereka memaksa Showa sang Dewa Matahari, menanggalkan ke-Tuhan-annya. Hujan tangis mengalir sampai ke pelosok negeri. Tuhan tak lagi mampu melindungi, bahkan Ia pun terbunuh siang ini.
Jepang dilanda kebingungan. Hanya karena harga diri pribadi mereka hidup sampai detik ini. Berangsur-angsur agama di tinggalkan. Bahkan orang mulai malu menyebut agamanya. Relung-relung hati yang dulu tersirami, terganti perlombaan untuk mendapat kejayaan duniawi. Kebajikan, diukur dari sebuah keberhasilan. Bunuh diri menjadi pilihan. Mereka tak lagi memiliki tempat pelarian.
Sesak dada Harumi melihat semua kejadian, mulutnya mendesis, "nani kore (apa-apaan ini).....baka dane (tolol ya)." Dalam hati timbul rasa benci pada orang Jepang. Itulah sebabnya ia memilih Rafly. Tingkah Rafly terkesan menggelikan. Rafly sangat serius menyembah Tuhan. Meluangkan waktu, untuk sesuatu yang menurut Harumi tidaklah perlu.
Di ruangan kantor, mendadak Harumi tidak bergairah. Dirinya hanya duduk sambil menatap screen saver yang bergerak menari-nari. Diketuk-ketukkan ujung pulpen di atas meja. Kosong tatapan matanya memandang ke jendela. Hitam burung gagak bertengger pada kawat-kawat listrik. Kemudian terbang menukik mengais sampah.
Tiba-tiba Harumi bergumam,"Karasu ga iina (gagak enak sekali). Mainichi (tiap hari) nani mo kangaenaisi (tidak memikirkan apa-apa). Asobu (main), taberu (makan), rabu-rabu (bercinta) dake(hanya) demo ikiteiru (tetapi bisa hidup)".
Orang-orang berlalu lalang di hari siang. Meski udara tidak panas, jelas terlihat wajah-wajah cemas. Cemas memikirkan target yang tidak terpenuhi. Mungkin juga cemas tak kunjung mendapat pekerjaan yang dicari.
Tiba-tiba muncul wajah Rafly dalam bayangan Harumi. Wajah itu selalu tenang dan tentram. Hari-hari Rafly yang gelap, dilaluinya dengan memahat boneka kayu. Jika sudah terkumpul, diserahkan semuanya ke keluarga Kosim. Bahkan, orang-orang Jepang kenalan Raflypun ikut bersimpati, mengagumi karya Rafly pada setiap kesempatan. Semuanya terlihat mengalir bagai air. Tidak ada penyesalan sampai akhir.
Harumi malas memulai pekerjaan. Digoyangkannya "mouse", screen saver menghilang berganti tampilan laporan yang belum terselesaikan. "Yosh....," Harumi mencoba menyemangati diri. Kembali dibacanya kata demi kata tiap kalimat yang telah diketiknya. Sejurus kemudian tenggelam diri Harumi dalam dunia yang tidak ia inginkan.

                                                                                      ***
Waktu menunjukkan pukul 18:00 petang ketika Harumi pulang. "Tadaima (saya pulang)," pekiknya. "Okaeri (selamat pulang)", sahut Rafly dari dalam., "Rafly, kyou pizza de ii (sekarang makan pizza ya), "bujuknya. Rafly hanya mengangguk. "Nani ga ii (mau yang mana) .Smoked chikin ka, BBQ chikin mayoneisse ka ....," Tawar Harumi. "BBQ chikin mayoneisse onegai,"jawab Rafly. Cekatan tangan Harumi memencet nomor telpon. "Rafly san, san ju pun gurai kakaru kara (karena makan waktu 30 menit), sakini ofuro ni hairune (saya mandi dulu ya)," Kata Harumi kemudian menghilang dibalik kamar.
Pizza, salad, dessert dan minuman diterangi cahaya lilin penghias makan malam. Namun hanya Rafly yang tampak di depan meja makan. Sementara Harumi sibuk berhias di dalam kamar. Semenjak siang tadi, Harumi terus berfikir apa yang Rafly ingini dari diri ini. Andai Rafly menginginkan uang darinya, mana mungkin Rafly mengorbankan matanya kemudian pulang ke Indonesia.
Harumi tersenyum simpul. Ditatapnya wajahnya, matanya, hidungnya kemudian bibirnya. Sengaja ia berlama-lama memainkan lipstick memerahkan bibir. Bukankah mata ini yang membuat laki-laki terpana. Bukankah bibir ini membuat laki-laki terpesona. Sejurus kemudian Ia pandangi lekuk tubuh. Wajahnya berbinar-binar bercahaya. Bukankah laki-laki butuh karena tubuh. Toh, Rafly juga laki-laki.
"Rafly san...,"lembut suara Harumi lebih dari biasa. Manja perilaku Harumipun lebih dari biasa. Harum wangi Harumi serasa menggoda. Dipegangnya tangan Rafly, dituntunnya tangan Rafly merasakan tiap lekuk ditubuhnya. Kemudian sengaja dihendikan disebelah dada.
"Rafly san....watashi ha kawai desuyou (aku cantik kan). Anata wo mamoritai desu (Aku akan menurut mu)," rayu Harumi. "Kamisama, Muhammad ga inakutemo watashi ga iru kara (meski tidak ada Tuhan, meski tiada Muhamad. Aku ada). Watashitachi no koto dake kangaete (berfikirlah hanya masalah kita berdua)", rayu Harumi semakin menggoda. Desah nafas Harumi menghembuskan air muka Rafly. Aroma cinta berpendar mengelilingi aura keduanya.
Mendadak samar terdengar suara adzan dari volume komputer yang dikecilkan. Mengingatkan orang bahwa hanya Dia lah yang maha besar. Dan hanya dengan mendirikan sholat, kita memperoleh kemenangan.  Terpana Rafly terhenti, kemudian lembut mendorong tubuh Harumi menjauh. "Harumi gome mou Isya ka (Maaf sudah Isya)," ucap Rafly. Sejurus kemudian coba ia berdiri, menggapai-gapai mencari rambatan menuju kamar mandi.
Harumi bagai patung yang diam tak bergerak. Dirinya tak percaya dengan apa yang tengah ia alami. Rafly lebih mencintai Tuhannya daripada dirinya. Air mata Harumi menggelantung di kantung mata, mengalir kehidung dan jatuh. Kebanggaan Harumi runtuh, bagai benteng pertahanan yang rapuh. Harga diri Harumi seolah tercampakkan oleh suaminya sendiri. Wajah itu kini terlihat tak beraturan lagi. Tiba-tiba, serak suara Harumi berteriak, "Rafly san......watashi mo.....sholat wo sitai (saya juga ingin sholat)".
Wajah itu kembali ke wajah Harumi yang asli. Berdiri dibelakang Rafly. Berdua sholat berjamaah untuk yang pertama kali. Mukenah itu seolah berseri, tidak hanya sepotong kain mas kawin yang menyumpal dalam lemari.

Di sana, tampak Zulaikha yang menawan, memegang lengan Yusuf yang tampan. Wajah Zulaikha tersipu menahan malu. Teringat kenaifannya dulu. Pada setiap zaman, selalu ada perempuan-perempuan pengulang kekhilafan. Bukannya Yusuf tidak mencintai sang permaisuri. Hanya Yusuf menginginkan sebuah cinta yang diridhoi. Teduh mata sang Yusuf memandang, hingga sholat Rafly dan Harumi terselesaikan.

No comments:

Post a Comment