Sunday 10 January 2016

Ketika Kau Adalah Tuhanku Part II

Hari menjelang petang. Harumi pulang. “Tadaima (ucapan ketika pulang),” pekiknya. “Okaeri (selamat pulang),” jawab Rafly dari dalam. Buru-buru ia lepaskan sepatunya di genkan, mencuci tangan dan kumur-kumur , mencegah influenza. Sejurus kemudian tangan-tangannya bergerak mempersiapkan makan malam. “Rafly san, onakaga suita desyou (perutnya sudah lapar kan). Kyou (sekarang) ha omuraisu (nasi goreng berbungkus telur dadar) wo tsukuru (memasak) yo. Oishii desyou (enakkan),” ucap Harumi sambil tangannya mempersiapkan segala bahan. Rafly hanya mengangguk sambil tersenyum.
Salad, misosiru (sup dari tauco), omuraisu berada dihadapan. Semangkuk nasi putih menggunung memenuhi mangkuk kecil. Segera Harumi menuangkan saus tomat di atas omuraisu. “Rafly san, dressing ha nani ga suki (suka apa). Goma (wijen) ka mayonesu ka,”tawar Harumi. “Goma de onegai,”ungkap Rafly. Sejurus kemudian dipercikkannya dressing goma ke dalam salad. Sejurus kemudian keduanya makan saling bersebelahan.
Tetes air hujan membasahi kaca, hembusan angin dari celah menyibak putih tirai jendela. Bau makanan kini berganti aroma teh hijau. Merapat tubuh Harumi ke tubuh Rafly. Tangan-tangan Rafly menyembunyikan cangkir teh dalam genggaman. Hangatnya terasa menjulur ke sekujur badan.
Pelan Rafly bertanya, ”Harumi, Islam no koto ha (bagaimana pendapatmu tentang Islam) dou, muzukashii (sulit).” Berat terdengar tarik nafas Harumi. Jika bukan karena Rafly, tidak mungkin Harumi memilih Islam sebagai agamanya. Islam, sesuatu yang sangat asing. Coba Harumi menjawab,”Naka-naka wakari zurai (masih sulit untuk dimengerti) desune. Hanya itu yang terucap.
Tiba-tiba lirih Harumi menangis. “Rafly san, watashi ni totte (Bagiku), anata ha watashino kami sama (engkau adalah Tuhanku) desu”. Tenggorokan Rafly terasa tercekat dalam kelam mata Harumi yang terisak. “Allah no koto ha wakaranaisi (aku tidak tahu tentang Allah), Muhammad ha donna hito ka mattaku siranaisi (aku sama sekali tidak tahu siapa Muhammad),” lirih terdengar suara Harumi.
Sejurus kemudian, keduanya berpindah duduk ke sofa di ruang tamu. Teringat Rafly tentang sejarah Jepang. Kemenangan Meiji atas Shogun, mendesak pengaruh Shinto atas Buddhis. Kepercayaan-kepercayaan local di satukan. Hanya kepada Sang Kaisarlah semua dipusatkan.
Dalam Shinto, Tuhan, bukanlah dzat pencipta. Tetapi dzat yang ada karena kebetulan. Dzat-dzat itu kemudian menjadi pahlawan hingga pantas menjadi Tuhan. Ia bisa berwujud binatang ataupun manusia. Orang-orang mendirikan jinja (shrine) untuk memujanya.
Bagi Harumi, Rafly adalah dzat yang telah memberinya kesempatan kedua. Rafly rela mengorbankan penglihatannya hanya untuk dirinya. Harumi seolah menjadi hamba di hadapan Rafly.
Terhenti selera Rafly untuk berdebat. Tiada guna bila jarak pengetahuan keduanya sangat berbeda. Rafly sadar, bahwa ia menjadi muslim karena memang sejak lahir telah dimuslimkan. Semuanya diperoleh tanpa pertanyaan. Mungkin sulit menjelaskan kondisi Harumi pada Eko, Budi, atau teman-teman yang dulu bersama melakukan jumatan. Mereka sama seperti dirinya. Menelan dengan nikmat semua ajaran Islam tanpa mengalami perbenturan.


Tetes air hujan semakin deras membasahi kaca jendela. Petir berkilat menerangi angkasa. Air, berasal dari mata air, turun ke bawah memenuhi dataran terrendah. Tapi, Air hujan adalah air yang berasal dari bawah yang ditarik ke atas.
Harumi, bagai kertas kosong yang tak tertulisi. Kini semuanya ada dipundak Rafly. Bagi Harumi, Rafly adalah cermin Islam itu sendiri. Rafly hanya menghela nafas panjang. Tuhan seolah pemberi mistery. Manusia diberikan akal, kemudian diberikan persoalan-persoalan. Kemudian Tuhan juga memberikan persoalan di luar batas rasionalitas. Di situlah kekuatan iman lebih menentukan.
Lembut tangan Rafly membelai rambut Harumi. Dengkur suaranya terdengar bagai anak kucing yang tertidur dipangkuan. Harumi bagai singa betina di waktu siang. Mengerjakan semuanya sendirian. Perasaan khawatir menyergap diri Rafly kalau-kalau ia tak sanggup menjadi Tuhan yang baik bagi Harumi. Dirinya hanyalah manusia, tidak sejernih air.

No comments:

Post a Comment