Sunday 10 January 2016

Kisah Cerita El Matador Part IV


Semenjak itu Munoz sering mengunjungi Anna, bahkan bermalam bersamanya.  Munos menjadikan tempat tinggal mereka selalu bercahaya. Tiap waktu ada cerita, bagai mana ia mengalahkan banteng di tengah Las Ventas.  Munoz sangat expresif di depan Anna, menyibakkan kesan angkuh seorang El Matador.
Namun sayang, ternyata Anna tidak pernah dapat memiliki cinta Munoz untuk pribadi. Ada wanita-wanita lain dalam hati Munoz. Kehadiran mereka memaksa cinta Anna untuk berbagi. Namun Anna berusaha untuk mengerti. Hidup bersama tanpa ikatan syarat dengan ketidakpastian.
 Hingga akhirnya Anna tidak kuat untuk menanggung semuanya. Dua tahun lamanya mereka hidup bersama. Dua tahun lamanya pula beribu pertanyaan mendera. Tentang sebuah kepastian, persiapan menjalani masa depan.
Kemudian Munoz membelakanginya. Semuanya berubah mencekam kala mereka bersama. Anna marah karena Munos tak kunjung memiliki niat untuk menikahinya.  Namun ia hanya dapat menangis, menyadari keniscayaannya selama ini.
  Dibantingnya gelas dihadapan, sebagai buah kekecewaan. Darah mengalir dari jemari Anna kala serpihan beling mengelupas kulit. Semuanya berantakan dalam sekejap. Bunga yang pagi ini baru diganti berserak di lantai. Semuanya seram mencekam. Munoz memperhatikan semuanya dengan tatap mata dingin, bagai Kaisar Nero yang menikmati kala Roma terbakar pada Abad 64.
Cinta Anna pada Munoz telah merasuk kedalam hati. Menimbulkan hasrat bersatu ingin memiliki. Padahal, suhu panas yang melampai curie temperature justru akan menjadikan magnet mengalami demagnetisasi. Saat gerakan molekulmelepaskan diri dari semua unsur kemagnetan. Tinggalah besi, mendingin. Terpisah satu sama lain.
Sendiri lebih berarti dari pada berdua tanpa terucap sepatah kata. Dan Annapun memutuskan kembali ke Canada.
********

Sepeninggal  Anna, nafsu liar Munoz semakin menjadi meski tak seliar Caesar Augustus Germanicus (Caligula). Perempuan-perempuan cantik didatangkan, untuk kemudian ia tinggalkan. Semua percintaan berlalu hanya meninggalkan kesan persetubuhan. Entah berapa banyak perempuan yang tersakiti. Munoz tetap tidak ambil perduli.
 Dinginnya hati Munoz, sedingin masa lalunya. Terlahir dari keluarga petani miskin dari kota kecil Leon. Munoz remaja mengadu nasib seorang diri di gemerlap kota Madrid nan angkuh.  Manusia tidak lagi mementingkan hati nurani. Di sini, Munoz tak lebih dari the hunchback of notre dame. Chatedral, Ave Maria, satu-satunya tempatnya berkeluh kesah.
  Hingga akhirnya Munoz bertemu dengan Antonio Ordonez, seorang pelatih matador. Betapa bangganya Munoz kali pertama mengenakan traje de luces. Namun Munoz juga merasakan, rompi itu bisa rompi kematian bagi orang-orang miskin yang coba menghibur naluri kebinatangan orang-orang kaya. Mereka akan bersorak sorai kala bahaya menghadangnya, kala nyawanya benar-benar di ujung tanduk.
********

Satu-satunya impian Munoz, menundukkan touro de lide seberat 500 kg yang merupakan banteng terganas di dunia ini. Tidak ada masalah bagi Munoz menundukan species bos taurus ibericus itu. Semuanya lebih mudah dari perkiraan.
Orang sering menyesali kegagalan, padahal kegagalan memperkaya pengalaman. Keberhasilan sering tidak  memberikan apa-apa, selain kejenuhan. Kini, Munoz merasa sepi. Sendiri dipuncak menara kesuksesan. Berjumlah perempuan yang acap bersamanya hanya mendatangkan kehampaan.
 Hari ini, kembali El Matador beraksi di Las Ventas. Pertandingan ini hanya hiburan, melawan banteng yang tidak begitu besar. Para gadis menyoraki sang arjuna yang pasti pulang membawa kemenangan.
 Dan bantengpun mulai berlari liar, coba melakukan balas dendam pada mereka yang telah melukainya. Merah mata sang binatang coklat kemerahan itu memandang Munoz. Sang Matador terus menari dengan cape merah memancing amarah. Sang banteng menanduk, Munos berkelit menari diiringi teriakan ,”Ole…..!”
 Tiba-tiba Munos menunjukkan jarinya ke arah banteng. Pedangnya tetap menyangga cape merah. Sang banteng memburu, coba menancapkan runcing tanduknya ke cape. Semua mata ingin mengabadikan bagaimana Munos berkelit. Namun Munos membiarkan semuanya terjadi.
 Tanduk itu merobek perutnya.  Sesaat kemudian diombang-ambingkan Munoz bagai boneka jerami. Darah memercik wajah dan pakaiannya. Semua orang berteriak. Gadis-gadis berpaling sambil menutupi wajah. Banderilleros dan picador datang coba menyelamatkan. Ditusuknya punggung banteng untuk menarik perhatian. Sang banteng beralih menyerbu picador.  Meninggalkan Munos yang berselimut debu. Tak lama kemudian, berbagai macam media, menyiarkan “tragedy” ini
***********

    Sebulan kemudian, tampak Munoz di Chatedral melakukan rezar (doa). Kali ini tidak seperti sebelumnya. Munoz menangis sambil memegangi keningnya. Sebenarnya, ketika Anna melukai tanggannya dengan gelas, hati Munoz terasa hancur. Ingin ia menangis, mencegah kenekatan kekasihnya. Namun saat itu, Munoz masih merasa sebagai El Matador De Toros yang harus selalu menjaga wibawanya.
Hingga kemudian hati kecilnya semakin kuat melawan keangkuhannya.  Dan saat itu ia ingin membalaskan kebodohannya dengan membiarkan dirinya merasakan tajam tanduk Banteng. Munoz sadar, hatinya kini ada di Canada. Bahu Munoz berguncang, memyangga semua kegalauan sesekali terdengar igauan “Pardoname Anna (Maafkan).”
 Ditatapnya patung Sang Maria. Wajah perempuan itu teduh. Hatinya bagai tanah lapang, tempat Munoz menumpahkan semua kekesalan. Selesai berdoa, bersiap Munoz meninggalkan altar.
Langkah Munoz terhenti.  Anna berdiri dihadapannya. Anna mendengarkan semua keresahan kekasihnya. Segera Anna memeluk Munoz sambil berucap,” Te quiero Munoz (I love you).”  Munoz masih terpana tak percaya. Kemudian Anna membuka kaca mata hitam Munoz, mengusap air mata kekasihnya. “Te quiero Anna,” Ucap Munoz. Dada Munoz terasa bergetar. Baru kali ini ia mengucapkan kata cinta. Kembali cinta Anna dan Munoz bersatu bagai waktu itu. Cinta kali ke dua, menuju cinta yang dewasa.


No comments:

Post a Comment