Sabtu pagi itu, awal tahun 1970-an, di tengah
cuaca gerimis, Cheryl Miller ditemukan
kawan seapartemennya dalam keadaan tergeletak
tak berdaya di tempat tidur, di
apartemen mereka di Saginaw. Luka terbuka,
meski tidak menganga, juga
ditemukan di tubuhnya. Komentar-komentar
terkejut terdengar dari kawan, tetangga,
terlebih keluarga.
Bersamaan dengan itu, suasana sedih dan duka
menyergap seketika. Terutama,
setelah muncul kepastian dari kepolisian dan
rumah sakit bahwa nyawa Cheryl tak
bisa diselamatkan. Sang "calon bintang"
telah meninggalkan alam fana untuk
selamanya. Kepergian yang terlalu pagi
sebenarnya.
Setelah itu, duka berubah menjadi luka,
karena cara Cheryl tewas sungguh sangat
mengenaskan. Hasil autopsi menyimpulkan,
gadis manis itu mengalami kekerasan
seksual. "Tampaknya, ia diperkosa,
kemudian dicekik. Atau sebaliknya, dicekik dulubaru diperkosa. Kita belum bisa memastikan," tukas
seorang anggota tim forensik.
Cheryl diperkirakan meninggal antara pukul 05.30 - 06.00.
"Saya sangat kaget, benar-benar kaget. Seperti ada
orang yang baru saja
menembakkan peluru karet ke perut ini," Donna
bercerita sembari memegang perut.
"Saya tak bisa membayangkan, bagaimana reaksi
orangtua Cheryl saat itu. Mereka
pasti sangat menderita," tambah Donna.
Detektif Ron Herzberg dan detektif Tom Reeder yang tiba
di tempat kejadian perkara
(TKP) tak lama setelah ditelepon, langsung menyisir
lokasi. Police line pun dipasang
bersamaan dengan kesibukan polisi mengamankan barang
bukti. Setelah
mengamati kondisi mayat dan TKP, Ron dan Tom mulai
menanyai sejumlah saksi.
Keluarga, teman-teman korban, tetangga, semua disambangi.
Seperti Donna, mereka semua tidak percayaan. "Mana
mungkin ada orang yang
tega berbuat begitu sadis pada gadis sebaik dan secantik
Cheryl?" tegas mereka,
dalam irama yang sama. Berdasarkan masukan-masukan itu,
polisi kemudian
mengarahkan penyelidikannya pada Abbass Esfehani, seorang
pemuda asal Iran
yang sedang mengikuti program pertukaran pelajar.
Ron dan Tom mendengar selentingan kabar dari teman-teman
Cheryl, saat itu
Abbass masih dalam status pacaran dengan korban. Meski
belakangan,
ketidakcocokan mulai muncul, sehingga hubungan mereka
kabarnya agak
merenggang.
"Pada kasus pembunuhan seperti ini, yang pertama
kali kita selidiki biasanya adalah
orang-orang yang mengenal dan dikenal korban. Apalagi
motif terbunuhnya Cheryl
jelas karena sesuatu yang sifatnya pribadi. Ini bukan
perampokan, karena tak ada
barang-barang milik korban yang hilang. Saat ini, kami
sedang menyelidiki
kemungkinan keterlibatan teman dekat korban,"
detektif Ron Herzberg memberikan
keterangan kepada wartawan.
Ron sengaja merahasiakan nama Abbass, untuk mendukung
azas praduga tak
bersalah. Detektif Tom Reeder yang mendampingi Ron, ikut
menganggukkan kepala,
seraya menambahkan, "Beberapa hari sebelum kejadian,
orangtua korban sempat
berbicara dengan anaknya. Mereka bilang, Cheryl tak ingin
lagi bertemu, apalagi
melanjutkan hubungan dengan pacarnya itu."
"Sang pacar marah, lalu membunuh Cheryl?" tanya
wartawan.
"Itu salah satu kemungkinan skenario yang perlu
didalami," jawab Ron dan Tom
tanpa dikomando.
"Orangtua Cheryl tahu apa penyebab retaknya hubungan
mereka?" cecar wartawan.
"Tidak secara spesifik. Tapi Cheryl sempat berkata,
dia agak khawatir pada sikap
temperamental Abbass," balas Ron.
"Apakah polisi mempunyai calon tersangka lain,
selain teman dekat korban?"
"Kemungkinan itu juga sedang kami selidiki."
Ya.
Tak lama setelah itu, Ron dan Tom memang langsung
mengumpulkan data dan
fakta, menyusunnya menjadi semacam puzzle yang harus
dipecahkan. Mereka
berhasil menemukan sidik jari Abbass di dinding yang
mengarah pada kamar tempatmayat Cheryl ditemukan. Polisi juga menemukan
beberapa helai rambut di tubuh
sang gadis, yang warna hitamnya mirip dengan rambut di
sisir milik Abbass.
Kumpulan barang bukti itu makin menguatkan kecurigaan
aparat kepolisian pada
pemuda asal seberang lautan itu. Sayangnya, pihak
berwajib tak pernah memiliki
kesempatan menginterogasi Abbass. Calon tersangka itu
tampaknya menyadari
kerepotan yang bakal dihadapinya, jika terus bertahan di
Amerika Serikat. Hanya
selang beberapa hari sejak tewasnya Cheryl, Abbass
menjual mobilnya, lalu terbang
ke negara asalnya. Sebagian barang-barangnya bahkan
ditinggalkan begitu saja di
Saginaw.
Polisi tentu kebakaran jenggot. Mereka tak mau kehilangan
buruannya begitu saja.
Tanpa membuang waktu, mereka segera menghubungi rekan
sejawatnya di Iran,
minta agar Abbass ditahan, karena dugaan terlibat dalam kasus
pembunuhan dan
pemerkosaan. Namun, tanpa barang bukti, yang bisa
dilakukan polisi Iran hanyalah
"menginterogasi" Abbass dalam hitungan jam.
"Kami tak punya bukti untuk menahan dia. Tapi kami
akan memenuhi permintaan
Anda, untuk mengirim sampel rambut Abbass ke
Amerika," Ron menirukan
keterangan dan janji yang didengarnya dari koleganya di
seberang lautan.
Herannya, atau malah hebatnya, setelah diteliti, sampel
rambut yang dikirim
Kepolisian Iran itu ternyata sama sekali tidak cocok
dengan contoh rambut yang
ditemukan di tubuh korban. Bahkan sampel itu juga tak
cocok dengan rambut yang
ditemukan di sisir milik Abbass, yang tertinggal di bekas
kediamannya di Saginaw.
Polisi betul-betul dibikin bingung, sekaligus frustrasi.
"Kami tak bisa melakukan apa-apa, karena memang tak
ikut menyaksikan, saat
sampel diambil dari Abbass," jelas Ron.
Alhasil, karena ketiadaan bukti, lima bulan setelah
ditemukannya mayat Cheryl, polisi
akhirnya menghentikan (sementara) perburuan terhadap
Abbass Esfehani. Abbass
sendiri sejak kejadian itu tak pernah lagi berkunjung ke
Amerika Serikat. Saat itu,
keluarga dan teman-teman Cheryl mulai merasa, upaya
menemukan siapa
pembunuh dan pemerkosa Cheryl, tampaknya mengarah ke
sebuah jalan, bernama
jalan buntu!
No comments:
Post a Comment