Tuesday 12 January 2016

Menuju jalan buntu

Sabtu pagi itu, awal tahun 1970-an, di tengah cuaca gerimis, Cheryl Miller ditemukan
kawan seapartemennya dalam keadaan tergeletak tak berdaya di tempat tidur, di
apartemen mereka di Saginaw. Luka terbuka, meski tidak menganga, juga
ditemukan di tubuhnya. Komentar-komentar terkejut terdengar dari kawan, tetangga,
terlebih keluarga.
Bersamaan dengan itu, suasana sedih dan duka menyergap seketika. Terutama,
setelah muncul kepastian dari kepolisian dan rumah sakit bahwa nyawa Cheryl tak
bisa diselamatkan. Sang "calon bintang" telah meninggalkan alam fana untuk
selamanya. Kepergian yang terlalu pagi sebenarnya.
Setelah itu, duka berubah menjadi luka, karena cara Cheryl tewas sungguh sangat
mengenaskan. Hasil autopsi menyimpulkan, gadis manis itu mengalami kekerasan
seksual. "Tampaknya, ia diperkosa, kemudian dicekik. Atau sebaliknya, dicekik dulubaru diperkosa. Kita belum bisa memastikan," tukas seorang anggota tim forensik.
Cheryl diperkirakan meninggal antara pukul 05.30 - 06.00.
"Saya sangat kaget, benar-benar kaget. Seperti ada orang yang baru saja
menembakkan peluru karet ke perut ini," Donna bercerita sembari memegang perut.
"Saya tak bisa membayangkan, bagaimana reaksi orangtua Cheryl saat itu. Mereka
pasti sangat menderita," tambah Donna.
Detektif Ron Herzberg dan detektif Tom Reeder yang tiba di tempat kejadian perkara
(TKP) tak lama setelah ditelepon, langsung menyisir lokasi. Police line pun dipasang
bersamaan dengan kesibukan polisi mengamankan barang bukti. Setelah
mengamati kondisi mayat dan TKP, Ron dan Tom mulai menanyai sejumlah saksi.
Keluarga, teman-teman korban, tetangga, semua disambangi.
Seperti Donna, mereka semua tidak percayaan. "Mana mungkin ada orang yang
tega berbuat begitu sadis pada gadis sebaik dan secantik Cheryl?" tegas mereka,
dalam irama yang sama. Berdasarkan masukan-masukan itu, polisi kemudian
mengarahkan penyelidikannya pada Abbass Esfehani, seorang pemuda asal Iran
yang sedang mengikuti program pertukaran pelajar.
Ron dan Tom mendengar selentingan kabar dari teman-teman Cheryl, saat itu
Abbass masih dalam status pacaran dengan korban. Meski belakangan,
ketidakcocokan mulai muncul, sehingga hubungan mereka kabarnya agak
merenggang.
"Pada kasus pembunuhan seperti ini, yang pertama kali kita selidiki biasanya adalah
orang-orang yang mengenal dan dikenal korban. Apalagi motif terbunuhnya Cheryl
jelas karena sesuatu yang sifatnya pribadi. Ini bukan perampokan, karena tak ada
barang-barang milik korban yang hilang. Saat ini, kami sedang menyelidiki
kemungkinan keterlibatan teman dekat korban," detektif Ron Herzberg memberikan
keterangan kepada wartawan.
Ron sengaja merahasiakan nama Abbass, untuk mendukung azas praduga tak
bersalah. Detektif Tom Reeder yang mendampingi Ron, ikut menganggukkan kepala,
seraya menambahkan, "Beberapa hari sebelum kejadian, orangtua korban sempat
berbicara dengan anaknya. Mereka bilang, Cheryl tak ingin lagi bertemu, apalagi
melanjutkan hubungan dengan pacarnya itu."
"Sang pacar marah, lalu membunuh Cheryl?" tanya wartawan.
"Itu salah satu kemungkinan skenario yang perlu didalami," jawab Ron dan Tom
tanpa dikomando.
"Orangtua Cheryl tahu apa penyebab retaknya hubungan mereka?" cecar wartawan.
"Tidak secara spesifik. Tapi Cheryl sempat berkata, dia agak khawatir pada sikap
temperamental Abbass," balas Ron.
"Apakah polisi mempunyai calon tersangka lain, selain teman dekat korban?"
"Kemungkinan itu juga sedang kami selidiki." Ya.
Tak lama setelah itu, Ron dan Tom memang langsung mengumpulkan data dan
fakta, menyusunnya menjadi semacam puzzle yang harus dipecahkan. Mereka
berhasil menemukan sidik jari Abbass di dinding yang mengarah pada kamar tempatmayat Cheryl ditemukan. Polisi juga menemukan beberapa helai rambut di tubuh
sang gadis, yang warna hitamnya mirip dengan rambut di sisir milik Abbass.
Kumpulan barang bukti itu makin menguatkan kecurigaan aparat kepolisian pada
pemuda asal seberang lautan itu. Sayangnya, pihak berwajib tak pernah memiliki
kesempatan menginterogasi Abbass. Calon tersangka itu tampaknya menyadari
kerepotan yang bakal dihadapinya, jika terus bertahan di Amerika Serikat. Hanya
selang beberapa hari sejak tewasnya Cheryl, Abbass menjual mobilnya, lalu terbang
ke negara asalnya. Sebagian barang-barangnya bahkan ditinggalkan begitu saja di
Saginaw.
Polisi tentu kebakaran jenggot. Mereka tak mau kehilangan buruannya begitu saja.
Tanpa membuang waktu, mereka segera menghubungi rekan sejawatnya di Iran,
minta agar Abbass ditahan, karena dugaan terlibat dalam kasus pembunuhan dan
pemerkosaan. Namun, tanpa barang bukti, yang bisa dilakukan polisi Iran hanyalah
"menginterogasi" Abbass dalam hitungan jam.
"Kami tak punya bukti untuk menahan dia. Tapi kami akan memenuhi permintaan
Anda, untuk mengirim sampel rambut Abbass ke Amerika," Ron menirukan
keterangan dan janji yang didengarnya dari koleganya di seberang lautan.
Herannya, atau malah hebatnya, setelah diteliti, sampel rambut yang dikirim
Kepolisian Iran itu ternyata sama sekali tidak cocok dengan contoh rambut yang
ditemukan di tubuh korban. Bahkan sampel itu juga tak cocok dengan rambut yang
ditemukan di sisir milik Abbass, yang tertinggal di bekas kediamannya di Saginaw.
Polisi betul-betul dibikin bingung, sekaligus frustrasi.
"Kami tak bisa melakukan apa-apa, karena memang tak ikut menyaksikan, saat
sampel diambil dari Abbass," jelas Ron.
Alhasil, karena ketiadaan bukti, lima bulan setelah ditemukannya mayat Cheryl, polisi
akhirnya menghentikan (sementara) perburuan terhadap Abbass Esfehani. Abbass
sendiri sejak kejadian itu tak pernah lagi berkunjung ke Amerika Serikat. Saat itu,
keluarga dan teman-teman Cheryl mulai merasa, upaya menemukan siapa
pembunuh dan pemerkosa Cheryl, tampaknya mengarah ke sebuah jalan, bernama

jalan buntu!

No comments:

Post a Comment