Nyiur melambai,
menari hula-hula kala sejuk angin laut menerpa. Ombak bergulung menghantam
karang bergeming. Pecah, riak pantai mengais tanah. Bising suara mesin
bertarung dengan deru ombak menyumpal telinga. Kapal-kapal nelayan tradisional
timbul tenggelam menggapai daratan. Bendera merah putih berkibar-kibar. Seolah
berkata ,"ini laut milik bangsa Indonesia".
Ibu-ibu duduk
menanti. Anak-anak bertelanjang kaki, bertelanjang dada berteriak. Menyerbu bak
serdadu. Mengelu-elukan sang ayah pulang dari medan juang. Perahu kandas
menyentuh tanah. Anak-anak kecil berenang menghampiri. Mengambil apa saja yang
tersisa dari perut kapal yang tertutup papan.
Entah yang
keberapa kali Rafly berkunjung ke desa. Tempat sang Ibu menghabiskan masa
gadisnya. Ingin rasanya Rafly, merasakan suasana di sini sendiri. Itu sebabnya
ia relakan orang tuanya pulang kembali. Dan, hanya minta dijemput minggu sore
nanti.
Rafly berjalan
sendiri di sekitar pantai. Kepiting-kepiting kecil lari bersembunyi tatkala
dihampiri. "Hey....kamu Rafly ya. Cucu Haji Sholeh yang tinggal di
Jakarta?" Sapa anak kecil hitam, rambut berkeriting tertutup kopiah.
Berbaju coklat muda seragam pramuka, berselempang sarung lusuh. Rafly terkaget
dan hampir lari. Untung saja hari masih siang, banyak orang berlalu lalang.
"Ya saya Rafly, siapa namamu ?" Balas Rafly. "Namaku Muhamad
Salim, panggil saja aku Salim . Rumahku di sana...," jawab Salim. Hanya
tampak rumah berjejer di kejauhan yang mana sulit memastikan. Berdua mereka
cepat akrab. Keduanya sama-sama baru kelas 5 SD.
Di atas dahan
pohon bakau keduanya berbincang. "Raf, kamu mau nggak?" Tawar Salim.
Dari saku celana pendeknya, dikeluarkannya ranting pohon berbentuk Y. Anak-anak menggunakannya untuk ketapel.
"Ini bagai mana cara memakainya?” Tanya Rafly yang memang tidak tahu apa-apa. "Tinggal diikatkan spentil sepeda dan
kalep pengait batu diujungnya", jawab Salim sambil memperagakan bagai mana
seharusnya. Sederhana tetapi luar biasa bagi Rafly sang anak kota. "Salim, Ayahmu kok nggak pulang ?"
Tanya Rafly polos. Satu persatu nelayan berjalan meninggalkan pantai. Salim
hanya tertunduk. Sejurus kemudian matanya menerawang ke lautan,"Bapak
pulang sebulan lagi." Hati Rafly berdesir, tidak pernah dalam hidupnya
menjauh ditinggal sang Ayah berbulan lamanya.
"Raf, katanya orang kota banyak uang ya?" Tanya Salim tiba-tiba. “Ada juga yang nggak, tapi biasanya sih iya.” Rafly menjawab sambil membayangkan banyaknya uang yang memenuhi kaleng ataupun laci para pedagang makanan di sekolahnya. "Pantesan, Bapak kalau pulang dari Jakarta juga membelikanku baju baru. Buat Emak, Nung, Umi, Yanti, dan Abu adik-adikku. Aku juga ingin jadi nelayan seperti Bapak," papar Salim.
"Tapi kata Bapak, aku harus lulus SD. Biar bisa baca, bisa nulis. Kemudian ikut melaut," kata Salim. "Kamu nggak pengin melanjutkan ke SMP?" Tanya Rafly. Kepala kecil itu hanya menggeleng. "Kamu nggak punya uang untuk melanjutkan sekolah ?" Cecar Rafly. "Aku nggak mau. Bisa baca, bisa nulis, sudah cukup. Bapak juga dulu tidak sekolah, tapi Bapak bisa membiayai orang tua dan adik-adiknya," jelas Salim bangga. Diri Rafly seolah mengecil. Sebagai anak tunggal, Rafly memang terbiasa berfikir hanya untuk dirinya. Salim, anak sepantarannya, berfikir sangat sederhana. Berusaha menjadikan dirinya manusia yang berguna. Tiada tampak raut penyesalan karena kejamnya keadaan.
"Raf, katanya orang kota banyak uang ya?" Tanya Salim tiba-tiba. “Ada juga yang nggak, tapi biasanya sih iya.” Rafly menjawab sambil membayangkan banyaknya uang yang memenuhi kaleng ataupun laci para pedagang makanan di sekolahnya. "Pantesan, Bapak kalau pulang dari Jakarta juga membelikanku baju baru. Buat Emak, Nung, Umi, Yanti, dan Abu adik-adikku. Aku juga ingin jadi nelayan seperti Bapak," papar Salim.
"Tapi kata Bapak, aku harus lulus SD. Biar bisa baca, bisa nulis. Kemudian ikut melaut," kata Salim. "Kamu nggak pengin melanjutkan ke SMP?" Tanya Rafly. Kepala kecil itu hanya menggeleng. "Kamu nggak punya uang untuk melanjutkan sekolah ?" Cecar Rafly. "Aku nggak mau. Bisa baca, bisa nulis, sudah cukup. Bapak juga dulu tidak sekolah, tapi Bapak bisa membiayai orang tua dan adik-adiknya," jelas Salim bangga. Diri Rafly seolah mengecil. Sebagai anak tunggal, Rafly memang terbiasa berfikir hanya untuk dirinya. Salim, anak sepantarannya, berfikir sangat sederhana. Berusaha menjadikan dirinya manusia yang berguna. Tiada tampak raut penyesalan karena kejamnya keadaan.
Matahari makin
meninggi. Pasir-pasir berbisik, berisik tertiup angin. Sayup terdengar sebuah
teriakan, "Rafly......." sejurus Rafly menoleh ke arah Bu Haji Soleh,
sang nenek. Perempuan itu terlihat melambaikan tangannya. Rafly melompat dan Salim turun dari dahan, berlari
menghampiri Bu Haji. "Ah kamu Salim, bagaimana kabar ibumu? Ayo makan
bareng Rafly," tawar Bu Haji. Salim berusaha menolak karena malu. Namun
agaknya, bunyi perut tak bisa menutup rasa lapar itu.
Mereka berdua mengelilingi menu makan siang itu. Sayur asam, sambal, kerupuk, tempe goreng dan ayam
goreng......! Berbinar mata Salim memandangnya. Daging ayam, makanan mewah.
Hanya pada saat tertentu bisa bertemu. Mereka makan tanpa berkata-kata. Selesai
makan, Rafly memberikan sepotong ayam terbungkus dalam kantong plastik. "Ini buat adikmu," ucap Rafly. Malu-malu
Salim tapi mau. Diselipkannya daging itu ke dalam saku.
"Raf, aku pulang dulu. Mau membantu
Emak mengasap ikan," kata Salim seraya undur diri. Setelah Salim pergi,
Rafly tenggelam dalam sepi. Kepalanya benar-benar tidak mengerti apa sebenarnya yang terjadi di dunia ini.
Orang desa berfikir sederhana, berbudi mulia. Mengabdi pada keluarga saat
belia. Begitu bersahajanya manusia pulau kelapa.
No comments:
Post a Comment