Sunday 10 January 2016

Pulau Kelapa Part II

Suara Adzan Dhuhur terdengar di kejauhan. Bergegas Raffly menyiapkan berwudhu. Dingin air menerpa wajah. Panas mentari terasa sejuk beradu badan. Air kolam yang berasal dari sumur, payau mengandung garam. Harus membeli air untuk diminum. Selesai sholat, Rafly duduk membaca buku cerita. Kegemaran mengisi waktu senggang saat di Jakarta.
"Assalamu'alaikum.......Bu Haji.....". Rafly mengintip diantara celah jendela, agar tahu si empunya suara. Seorang perempuan muda, dengan pakaian lusuh. Menggendong bayi, mungkin belum genap berumur satu tahun. Cemas perempuan itu, kala salam tak terjawab dari dalam.
"Waalaikum salam....eh Lastri....ayo masuk, di luar panas......," Sapa Bu Haji ramah. "Wah Danang makin lucu ya," basa-basi Bu Haji. "Bu.....saya ke sini untuk.....pinjam beras....," ucap Lastri dengan ragu. Bu Haji hanya tersenyum, "Lastri.....sudah makan. Emak masak sayur asem tuh, tadi pagi cucu Emak juga datang, jadi potong ayam. Ayo makan sama Emak," tawar Bu Haji. "Terimakasih Bu Haji, saya sudah masak," sanggah Lastri. "Lastri.....nggak usah risih. Masa, sudah masak tapi mau pinjam beras. Lastri kan harus menyusui Danang. Emak juga mau makan pete mumpung ngga ada Bapak...." Mata Bu Haji berbinar, seolah mendapat teman.
Lastri, perempuan muda dari desa tetangga. Menikah dengan Jarwo karena masih ada ikatan keluarga. Bahtera rumah tangga mereka, berayun-ayun bak kapal kecil terus berjuang melawan gelombang. Jarwo, pemabuk tinggi angan. Tidak mau menjadi nelayan, bekerja serabutan. Kadang pulang tanpa penghasilan. Sering Lastri ke rumah Bu Haji, untuk meminjam beras.
Teriris, hati Rafly mendengar semuanya, meski bangga orang tuanya berasal dari desa. Desa, asal manusia. Di desa, manusia dimanusiakan, perasaan sangat berperan. Kebajikan, bukan diukur syurga atau neraka. Semuanya dekat, bagai keluarga. Tiada pengemis dan gelandangan. Manusia memiliki harga diri, menjadi pemberi. Menahan hati meminta rezeki. Lastri, memilih meminjam beras dari pada uang. Makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Meminjam karena yakin sanggup mengembalikan.
Selesai makan,  wajah kusut Lastri bercahaya. Senyumnya mengembang, menatap binar terang mata Danang. Tangannya menggengam beras dalam plastik dan beberapa butir telor. "Lastri....kalau ada apa-apa bilang ke Emak ya?" Lembut tangan Bu Haji membelai rambut Lastri. Lastri berlalu setelah mengucap salam. Sendu mata Bu Haji menatap punggung Lastri. Lastri agak mirip mendiang Aisyah, sang putri sulung juga kakak kandung Latifah, Ibu Rafly.
Satu buku selesai terbaca. Ingin rasanya Rafly bermain dengan teman sebaya. Sayang, Salim pulang, tak lagi bersamanya. Diayunkannya kaki kecil keluar kamar. "Lho, Cucu Mbah kok nggak tidur siang ?" Sapa Bu Haji mengagetkan. "Nggak Mbah, mau main di halaman saja," Jawab Rafly.
Rafly sendiri bermain di halaman. Dilipatnya kertas itu menjadi pesawat. Diterbangkannya sambil melompat-lompat. "Pesawat" terbang setinggi atap rumah, pelan menyusur tanah. Berlari Rafly mengambil, kemudian diterbangkannya berulang-ulang.
Sepasang mata menatap, memperhatikan. Tiba-tiba mendekat , "Rafly.....kapan datang ?" Sapanya. Rafly terdiam dibuatnya, tiada mengerti dia itu siapa. "Aku Gesang...." Sapa anak itu seraya mengulurkan tangan mengajak bersalaman. Rafly sedikit terheran. Wajah itu, wajah anak keturunan China, bukan asli Jawa.
Gesang bernama baptis Hendricus Gunawan. Kakek- neneknya pengikut konfusius, namun pemerintah tidak mengakuinya, hingga mereka beralih ke Buddha. Gesang, mengikuti orangtuanya yang katholik. Semenjak dilahirkan Gunawan sering sakit-sakitan. Sesuai adat jawa, orang berganti nama untuk keselamatan. Dipanggilah Gunawan dengan nama Gesang, berarti hidup.
Keduanya cepat akrab. Bermain pesawat bersama. "Gesang, tahu nggak di mana rumahnya Salim," tanya Rafly. "Salim yang pendek hitam itu ?" Balas Gesang. Rafly mengangguk mengiyakan. "Salim Boncel rumahnya di sana, di belakang rimbunan pohon kelapa. Tapi kalau sekarang dia sedang membantu Ibunya, setelah Ashar, aku antar kesana," tawar Gesang.
Adzan Ashar berkumandang. "Asalamualaikum......," terdengar suara salam dari belakang. Rupanya Kakeknya, Haji Solihin pulang dari pelabuhan. Rafly berlari menghampiri mencium tangan. "Sudah makan, betah di desa?" Tanya Haji Solichin. "Alhamdulillah Mbah, saya sangat senang di sini," jawab Rafly. "O.....Gesang ternyata juga di sini. Ayo sini Sama Mbah Solichin," katanya. Ketiganya sangat akrab. Berkali-kali tampak Gesang meninju-ninju buncit perut Haji Solichin. "Gesang, Mbah dan Rafly mau sholat dulu ya?" Pamit Haji Solichin. Gesang mengangguk, sejurus kemudian terlihat sendiri bermain pesawat terbang.
Tak berapa lama, Rafly keluar menghampiri Gesang. "Ayo kita ke rumah Salim," ajak Rafly. mereka berdua berjalan menuju rumah dibalik rimbun pohon kelapa itu. Dari kejauhan tampak Salim menggendong anak kecil. Belakangan diketahui anak itu bernama Abu, adik paling bungsu. Berusia satu tahun sudah bisa sedikit berjalan.
"Boncel......" Teriak Gesang. Salim tersenyum, putih gigi tersibak diantara bibir hitam. Abu diturunkan dari gendongan. "Salim, main sama-sama yuk," ucap Rafly. Salim tersenyum menatap, Gesang dan Rafly. "Oo......Oh Geseng (gosong :jawa )juga ikut ya ?" Sapa Salim sambil berkacak pinggang. Gemertuk gigi Gesang, menahan marah. "Aku tanya Emak dulu ya?" Izin Salim sambil berlari ke dalam rumah menggendong Abu.
Sejurus kemudian tampak Salim keluar. Tangannya memegang perahu kecil dari sendal jepit. Diatasnya tertancap layar dari plastik yang dibentangkan, tersangga lidi bambu. Dibelakangnya ada kemudi yang terbuat dari bambu tipis. Kemudi ditutup lumpur, agar seimbang, perahu lurus berjalan. Salim tersenyum puas memandang perahu kebanggaannya. Di desa, Salim terkenal memang ahlinya.
"Boncel, aku juga punya perahu. Ayo ke rumahku," Ajak Gesang. Nyalak suara anjing terdengar dari dalam. Keras Gesang menghardik, anjing terdiam. Rafly dan Salim, menunggu di luar. Gesang keluar. Perahunya baru dan besar. Mulut Salim menganga terperangah. Gesang tersenyum. Diberikannya sendal jepit yang sama dengan perahunya, ke Rafly. "Rafly ini buatmu. Sebenarnya, sendal jepit ini punya Opaku. Dua minggu lalu baru dibeli di Jakarta. Sengaja aku putuskan talinya, agar bisa dibuat perahu", terang Gesang sangat bahagia. Tiba-tiba Salim berteriak, "Jangan Rafly, nanti jadi China......." Gemas hati Gesang mendengarnya diterkamnya Salim. Di keplaknya, kepala Salim. Salim hanya meringis. "Sukur....." ejek Gesang.

"Eh, aku bawa kue keranjang nih. Mau ?" Tawar Gesang. Salim tersenyum. "Oke deh boss Gesang," puji Salim. Gesang menatap tajam. Seolah belum habis melupakan kelakuan Salim. Dengan tangannya, dibaginya kue itu menjadi tiga, sama rata.
Putih pasir pantai, menghampar, berkilat tersinari  matahari sore. Putih Ubur-ubur  terhempas, menuju daratan. Berjuang kemudian kembali ke lautan.Tiga buah perahu dilepas bersamaan dari lautan. Terombang-ambing berkejaran meninggalkan sorak sorai tiga anak kecil di belakang. Bersama ketiganya bermain hingga matahari hampir tenggelam.

No comments:

Post a Comment