Sunday 10 January 2016

Ketika Kau Adalah Tuhanku Part I

Air, terlahir dari sebuah mata air. Ketika sang akuifer (muka air tanah), berpadu dengan permukaan tanah. Satu per satu mata air mengalirkan air ke bawah, melobangi tanah membentuk sungai, aliran bahkan selokan. Semuanya berakhir di lautan.
Agama, berasal dari para nabi, orang-orang suci. Berkembang pada masyarakat biasa, membentuk berbagai agama, bahkan aliran agama. Semuanya akan berakhir pada Dia: Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sayup suara Adzan, terdengar dari computer dengan volume yang dikecilkan. Mengingatkan kembali siapakah yang paling Akbar  sampai empat kali. Bukankah setiap orang pasti butuh sandaran. Kebesaran pribadi kadang menjadi tak berarti. Banyak tokoh-tokoh besar, berakhir dengan bunuh diri. Kecilpun akan berarti, bila pandai mensyukuri.
Gapai tangan Rafly, meraih kran air untuk berwudhu di kamar mandi. Dingin air menerpa wajah menyejukkan hati. Timbullah rasa syukur, setidaknya masih hidup sampai saat ini. Gemercik  air jatuh, mengingatkan Rafly semua kejadian masa lalu.
                                                                                          ***
Hari jumat jam 11 siang. Di kampus, Rafly sedang menata buku-buku yang berserak itu. Berdering terdengar suara ponsel di saku. “Hallo….Raf, lu sholat jumat dimana?” terdengar suara Eko timbul tenggelam beradu dengan deru kereta api yang datang silih berganti. “Belum tahu…up to you sajalah aku banyak waktu kok .” Balas Rafly setengah berteriak. “Oke kita sholat di Shin Okubo saja ya?” Jawab Eko memutuskan. Sejurus kemudian terdengar nada ponsel telah dimatikan.
Berbincang bagai sesuatu yang menyulitkan. Di dalam kereta, tak boleh berisik. Di stasiun, sangat berisik. Harus berpintar menyingkat pembicaraan. Agar pesan tertangkap dalam kalimat yang disederhanakan.
Pelan kereta berjalan, kemudian berlari kencang setelah jauh meninggalkan landasan. Berayun-ayun Rafly , menyerahkan keseimbangan pada tali pegangan. Di depannya tampak perempuan tua tersenyum manis. Andai bukan karenanya, pasti saat ini dirinya sedang menikmati bangku empuk hijau itu. Tapi biarlah, berkorban akan melapangkan hati, meringankan beban. Di Stasiun Shibuya, Rafly berganti kereta. Dari ino kashira line menuju yamanote line.
Satu persatu stasiun telah terlewati. Di stasiun Shin Okubo, berakhirlah sebuah perjalanan. Bergegas Rafly menempelkan suica (kartu elektronik kereta) pada pintu yang dilengkapi sensor elektrik. Mesin merekam data, dan pintupun terbuka.  Shin Okubo, sudut Tokyo tempat berbaur manusia beraneka bangsa. Agak kumuh dan tidak teratur. “Orang asing,” memang lebih miskin. Sangat sulit syarat yang dimintakan, sangat sedikit kesempatan yang diberikan. “Orang asing” mencari kehidupan dengan membuka toko atau bekerja serabutan.
Para pedagang muslim, berkumpul di dekat stasiun membangun tempat ibadah dalam lantai sebuah gedung. Kami panggil tempat itu dengan sebutan mesjid Myanmar. Diurus oleh orang-orang Myanmar, mungkin mereka juga yang mendanai setiap pengeluaran.
Sebenarnya ada beberapa pilihan untuk melakukan Jumatan. Mesjid  Jami di Shibuya, megah menarik, tetapi jauh dari warung nasi. Sekolah Republik Indonesia bisa bersantai tetapi jauh dicapai. Shin Okubo lah tempat persilangan penyedia berbagai kepentingan.


Polisi gendut berpakaian preman tersenyum ramah. Berdiri di pinggir jalan setiap jumat. Mencegat, menanyai orang yang akan sholat. Bukan masalah berat. Semuanya demi masalah keamanan. Kadang si gendut mengajak makan-makan. Kemudian menyuguhkan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang kami lakukan. Pertama kali si gendut membuat kami takut. Tetapi, karena ia sopan maka ia, kami anggap sebagai kawan.
“Irrassyaimase (selamat datang), oni san (mas/abang) genki (sehat),” tampak tersenyum perempuan Thailand. Perempuan cantik setengah baya, mengenakan kebaya bagai seorang ibu Indonesia. Ia pemilik restaurant, lantai satu di gedung mesjid Myanmar. “Okage samade (atas berkat rahmat-Nya),” kami jawab sambil tersenyum lebar. Senyum kemenangan melawan perut yang keroncongan. Semuanya bergerak menyerbu. Menyerbu piring, memberatinya dengan nasi. Dibebani lagi piring itu dengan lauk. Setelah puas baru kami ambil tempat duduk.
Kami bercerita tentang kejadian sebelum jumatan. Macam-macam. Kami mendengarkan pembicara sambil mengingat-ingat kejadian bila nanti mendapat kesempatan. Eko, mahasiswa S2 bercerita tentang pengalamannya turun lapangan. Budi, mahasiswa S3 menceritakan tentang kesulitannya beradaptasi dengan kurikulum jepang. Irwan, Tirta, Agung susul menyusul bercerita. Tidak ada kesimpulan, karena memang tidak perlu disimpulkan

No comments:

Post a Comment