Air, terlahir
dari sebuah mata air. Ketika sang akuifer (muka air tanah), berpadu dengan
permukaan tanah. Satu per satu mata air mengalirkan air ke bawah, melobangi
tanah membentuk sungai, aliran bahkan selokan. Semuanya berakhir di lautan.
Agama, berasal dari para nabi, orang-orang suci. Berkembang pada masyarakat biasa, membentuk berbagai agama, bahkan aliran agama. Semuanya akan berakhir pada Dia: Tuhan Yang Maha Kuasa.
Agama, berasal dari para nabi, orang-orang suci. Berkembang pada masyarakat biasa, membentuk berbagai agama, bahkan aliran agama. Semuanya akan berakhir pada Dia: Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sayup suara
Adzan, terdengar dari computer dengan volume yang dikecilkan. Mengingatkan
kembali siapakah yang paling Akbar sampai empat kali. Bukankah setiap orang pasti
butuh sandaran. Kebesaran pribadi kadang menjadi tak berarti. Banyak
tokoh-tokoh besar, berakhir dengan bunuh diri. Kecilpun akan berarti, bila
pandai mensyukuri.
Gapai tangan Rafly, meraih kran air untuk berwudhu di kamar mandi. Dingin air menerpa wajah menyejukkan hati. Timbullah rasa syukur, setidaknya masih hidup sampai saat ini. Gemercik air jatuh, mengingatkan Rafly semua kejadian masa lalu.
***
Gapai tangan Rafly, meraih kran air untuk berwudhu di kamar mandi. Dingin air menerpa wajah menyejukkan hati. Timbullah rasa syukur, setidaknya masih hidup sampai saat ini. Gemercik air jatuh, mengingatkan Rafly semua kejadian masa lalu.
***
Hari jumat jam
11 siang. Di kampus, Rafly sedang menata buku-buku yang berserak itu. Berdering
terdengar suara ponsel di saku. “Hallo….Raf, lu sholat jumat dimana?” terdengar
suara Eko timbul tenggelam beradu dengan deru kereta api yang datang silih
berganti. “Belum tahu…up to you sajalah aku banyak waktu kok .” Balas Rafly
setengah berteriak. “Oke kita sholat di Shin Okubo saja ya?” Jawab Eko
memutuskan. Sejurus kemudian terdengar nada ponsel telah dimatikan.
Berbincang bagai sesuatu yang menyulitkan. Di dalam kereta, tak boleh berisik. Di stasiun, sangat berisik. Harus berpintar menyingkat pembicaraan. Agar pesan tertangkap dalam kalimat yang disederhanakan.
Berbincang bagai sesuatu yang menyulitkan. Di dalam kereta, tak boleh berisik. Di stasiun, sangat berisik. Harus berpintar menyingkat pembicaraan. Agar pesan tertangkap dalam kalimat yang disederhanakan.
Pelan kereta
berjalan, kemudian berlari kencang setelah jauh meninggalkan landasan.
Berayun-ayun Rafly , menyerahkan keseimbangan pada tali pegangan. Di depannya
tampak perempuan tua tersenyum manis. Andai bukan karenanya, pasti saat ini
dirinya sedang menikmati bangku empuk hijau itu. Tapi biarlah, berkorban akan
melapangkan hati, meringankan beban. Di Stasiun Shibuya, Rafly berganti kereta.
Dari ino kashira line menuju yamanote line.
Satu persatu
stasiun telah terlewati. Di stasiun Shin Okubo, berakhirlah sebuah perjalanan.
Bergegas Rafly menempelkan suica (kartu elektronik kereta) pada pintu yang
dilengkapi sensor elektrik. Mesin merekam data, dan pintupun terbuka. Shin Okubo, sudut Tokyo tempat berbaur
manusia beraneka bangsa. Agak kumuh dan tidak teratur. “Orang asing,” memang
lebih miskin. Sangat sulit syarat yang dimintakan, sangat sedikit kesempatan
yang diberikan. “Orang asing” mencari kehidupan dengan membuka toko atau
bekerja serabutan.
Para pedagang muslim, berkumpul di dekat stasiun membangun tempat ibadah dalam lantai sebuah gedung. Kami panggil tempat itu dengan sebutan mesjid Myanmar. Diurus oleh orang-orang Myanmar, mungkin mereka juga yang mendanai setiap pengeluaran.
Sebenarnya ada beberapa pilihan untuk melakukan Jumatan. Mesjid Jami di Shibuya, megah menarik, tetapi jauh dari warung nasi. Sekolah Republik Indonesia bisa bersantai tetapi jauh dicapai. Shin Okubo lah tempat persilangan penyedia berbagai kepentingan.
Para pedagang muslim, berkumpul di dekat stasiun membangun tempat ibadah dalam lantai sebuah gedung. Kami panggil tempat itu dengan sebutan mesjid Myanmar. Diurus oleh orang-orang Myanmar, mungkin mereka juga yang mendanai setiap pengeluaran.
Sebenarnya ada beberapa pilihan untuk melakukan Jumatan. Mesjid Jami di Shibuya, megah menarik, tetapi jauh dari warung nasi. Sekolah Republik Indonesia bisa bersantai tetapi jauh dicapai. Shin Okubo lah tempat persilangan penyedia berbagai kepentingan.
Polisi gendut
berpakaian preman tersenyum ramah. Berdiri di pinggir jalan setiap jumat. Mencegat,
menanyai orang yang akan sholat. Bukan masalah berat. Semuanya demi masalah
keamanan. Kadang si gendut mengajak makan-makan. Kemudian menyuguhkan
pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang kami lakukan. Pertama kali si gendut
membuat kami takut. Tetapi, karena ia sopan maka ia, kami anggap sebagai kawan.
“Irrassyaimase (selamat datang), oni san (mas/abang) genki (sehat),” tampak tersenyum perempuan Thailand. Perempuan cantik setengah baya, mengenakan kebaya bagai seorang ibu Indonesia. Ia pemilik restaurant, lantai satu di gedung mesjid Myanmar. “Okage samade (atas berkat rahmat-Nya),” kami jawab sambil tersenyum lebar. Senyum kemenangan melawan perut yang keroncongan. Semuanya bergerak menyerbu. Menyerbu piring, memberatinya dengan nasi. Dibebani lagi piring itu dengan lauk. Setelah puas baru kami ambil tempat duduk.
Kami bercerita tentang kejadian sebelum jumatan. Macam-macam. Kami mendengarkan pembicara sambil mengingat-ingat kejadian bila nanti mendapat kesempatan. Eko, mahasiswa S2 bercerita tentang pengalamannya turun lapangan. Budi, mahasiswa S3 menceritakan tentang kesulitannya beradaptasi dengan kurikulum jepang. Irwan, Tirta, Agung susul menyusul bercerita. Tidak ada kesimpulan, karena memang tidak perlu disimpulkan
“Irrassyaimase (selamat datang), oni san (mas/abang) genki (sehat),” tampak tersenyum perempuan Thailand. Perempuan cantik setengah baya, mengenakan kebaya bagai seorang ibu Indonesia. Ia pemilik restaurant, lantai satu di gedung mesjid Myanmar. “Okage samade (atas berkat rahmat-Nya),” kami jawab sambil tersenyum lebar. Senyum kemenangan melawan perut yang keroncongan. Semuanya bergerak menyerbu. Menyerbu piring, memberatinya dengan nasi. Dibebani lagi piring itu dengan lauk. Setelah puas baru kami ambil tempat duduk.
Kami bercerita tentang kejadian sebelum jumatan. Macam-macam. Kami mendengarkan pembicara sambil mengingat-ingat kejadian bila nanti mendapat kesempatan. Eko, mahasiswa S2 bercerita tentang pengalamannya turun lapangan. Budi, mahasiswa S3 menceritakan tentang kesulitannya beradaptasi dengan kurikulum jepang. Irwan, Tirta, Agung susul menyusul bercerita. Tidak ada kesimpulan, karena memang tidak perlu disimpulkan
No comments:
Post a Comment