Sunday 10 January 2016

Pulau Kelapa Part IV

Lambai nyiur, serasa sama. Debur ombak juga sama. Bisik pasir pantaipun sama, persis seperti waktu itu.
Waktu melesat cepat, tiada berasa. Selamat tinggal sekolah dasar.  Rafly, Salim, Gesang mulai menatap kehidupan baru. Rafly dan Gesang melanjutkan ke usia remaja, meneruskan sekolah ke tingkat menengah pertama. Sementara Salim, akan menjadi dewasa. Memikul sebagian nasib Emak, masa depan Nung, Yanti, Umi dan Abu. Bahu membahu dengan ayahnya. Ini saat terakhir ketiganya berkumpul bersama.
Kokok ayam bersahut di halaman. Jago tua masih berkuasa. Bersenjatakan paruh besar, taji yang tajam. Kakinya kekar bersisik. Merah hitam bulunya berpendar memantulkan cahaya. Matanya mengawasi jago-jago muda yang bercanda, pura-pura berkelahi dengan kerabat sendiri.
Seorang anak kecil bermain seorang diri. Celana pendeknya kotor berlumur debu. Berlari ia mengejar jago tua. Kemudian berbalik, mengganggu kucing gemuk yang sedang tidur. Kekeh tawanya, ketika menarik ekor sang kucing. "Danang, jangan bermain-main dengan kucing itu. Nanti kau dicakarnya Nak," teriak Lastri dari dalam. Danang hanya terkekeh. Pelan kucing membuka matanya. Tidak marah. Mungkin tidak bisa marah pada Danang sang penguasa halaman.
Semenjak Jarwo melaut, Lastri membantu Bu Haji mengasap ikan. Ikan-ikan itu di tusuk seperti satai, kemudian dibakar dengan arang kayu. Asap putih mengepul, menyelimuti dapur. Ditiup-tiupnya arang bila berapi. Berulang kali Lastri membolak-balik ikan. Ikan-ikan berubah warna coklat tua terang sedikit hitam. Dan para pedagang akan membelinya untuk dijual kembali di pasar.
"Salim....Salim....," teriak Rafly dan Gesang. "Gesang, ayo masuk," seru suara laki-laki dari dalam. Di dalam rumah, terlihat Umi sedang bermain boneka. "Lho ini siapa," tanya laki-laki itu saat melihat Rafly. "Ini Rafly, cucu Pak Haji Soleh," jawab Gesang. Rafly hanya terdiam melihat laki-laki dewasa di depannya. Badannya pendek kekar. Kulitnya hitam dengan rambut keriting. Wajahnya mirip Salim. Belakangan Rafly tahu dia adalah Pak Hasan, ayah Salim.
"O...anak Latifah yang tinggal di Jakarta ya?" Katanya. "Umi....panggilkan Salim," katanya pada Umi. Umi berlari ke belakang. Sejurus kemudian ia berteriak, "Kak Salim, Ada Rafly dan Gesang."  Abu tiba lebih dulu. Berdiri menatap Rafly dan Gesang. Abu juga berambut keriting seperti Salim. Hanya adik-adik perempuannya yang memiliki rambut berombak.

"Lim, main yuk," kata Rafly. Salim melirik ke Bapaknya. Lelaki itu hanya mengangguk menyilahkan.

ketiganya berjalan menuju pantai. Kelapa kosong berguling-guling terdorong angin. Debur ombak terdengar dari kejauhan. Ilalang bergoyang seolah berkata, "Selamat jalan."
Setiap ayahnya pulang berlayar, Salim selalu dihadiahi pakaian baru. Kali ini, Salim memakai kaos bergambar perahu. Namun tetap dengan sarung dan kopiah yang sama. Kopiah itu tidak lagi hitam, tapi sedikit coklat. Salim tampak gagah dan percaya diri. Senyumnya mengembang.

"Cel....baju baru ni?" Canda Gesang. Salim tampak malu. Kakinya menyepak kaki Gesang. Sejurus kemudian, tampak Salim mengelus-elus gambar perahu di kaosnya. "Wah....itu gambar perahu apa Lim?" Tanya Rafly. "Ini namanya perahu kontainer. Perahu ini bisa memuat mobil. Mungkin juga pesawat terbang", jawab Salim. Langkah Gesang terhenti. Dipandangnya gambar perahu itu. "Memangnya perahu ini, bisa menangkap ikan?" Tanya Gesang. "Nggak bisa. Perahu ini untuk mengangkut barang," jawab Salim bangga.
Sejurus kemudian, tampak Rafly, Salim dan Gesang bercengkrama di atas dahan bakau, memandang luasnya lautan. "Gesang, setelah SD, mau meneruskan di SMP mana?" Tanya Rafly. Gesang tersenyum. "Tidak tahulah, maunya sih di SMP kristen, PIUS, di kota" jawabnya. "Kau sendiri mau meneruskan di SMP mana?" Tanya Gesang. "Maunya sih di SMP Negeri,  tapi entahlah nilaiku cukup atau tidak," jawab Rafly.
"Lim, kenapa nggak mau meneruskan?" Tanya Rafly. "Kan sudah aku bilang. Aku tidak berminat masuk SMP. Aku ingin membahagiakan Emak," kata Salim. "Bukankah Ibumu akan bahagia, kalau Salim melanjutkan?" Timpal Rafly. Salim menggeleng. "Aku mau jadi nelayan, bukan menjadi karyawan," jawabnya. Rafly dan Gesang bengong tak mengerti. "Aku ingin membeli kapal besar. Agar Bapakku tidak lagi bekerja untuk orang lain. Abu juga pasti aku ajak melaut," kata Salim melanjutkan. "Kata Emak, kalau aku menabung dari sekarang. Pasti bisa membeli kapal besar," tandas Salim. Ucapan Salim terdengar berapi-api. Keyakinan Salim pada laut, seolah tak pernah mati.

"Aku juga Cel. Setelah SMA, aku mau buka usaha. Kata Opa, lebih baik punya usaha sendiri. Hampir semua saudaraku punya toko di kota," terang Gesang. "Kalau Rafly, apa cita-citamu" tanya Salim. Malu-malu Rafly menjawab, "Aku ingin menjadi guru."  "Waaah, tiap hari harus belajar?" Kata Salim. "Nggak, aku suka baca. Senang rasanya ikut menyebarkan ilmu. Kata Pak Usman guruku, guru tetaplah guru. Meskipun suatu saat sang murid menjadi orang hebat. Bahkan lebih hebat dari gurunya," papar Rafly. Salim dan Gesang terlihat manggut-manggut tanda mengerti.
Tiga anak kecil, coba meraba masa depan. Dahan bakau berayun-ayun. Akarnya dari atas menghunjam ke tanah. Dukung mendukung memperkuat batang. Anak-anak kecil bagaikan akar. Terus mendukung agar negeri punya masa depan.

Selepas berbincangan itu, Salim seakan hilang ditelan ombak. Berlayar bersama sang ayah entah ke mana. Gesang meneruskan di SMP PIUS impiannya. Kabarnya, kini ia hidup di Surabaya, bersama istri dan anak-anaknya. Salim tetap tinggal di pulau kelapa, berlayar dengan perahu milikya. Sayang Rafly tak pernah jumpa kala singgah di sana

No comments:

Post a Comment