Sunday 10 January 2016

Titanic Part I

Saat-saat lebaran, saat-saat yang paling dikenang bagi Fitri. Kala takbir bersahutan di seberang jalan. Kala hati dilanda kesepian. Fariz, sang suami tidak bisa menikmati lebaran bersamanya kali ini.
Barusan chatting via FB dengan nya yang berada di tengah lautan. “Assalamu`alaikum, kasihku. Maaf aku tak bisa mendampingimu pada saat-saat yang dinanti setiap tahun sekali. Aku sedang di tengah-tengah lautan India, dekat Madagashkar,” katanya mengawali pembicaraan.
Fitri hanya bisa menatap layar monitor, suami yang sangat dicintainya pasti kesepian Timbul tenggelam di tengah lautan. “Wa`alaikumussalam, Sayangku aku di sini selalu mengharapkan kehadiranmu. Detik demi detik seakan enggan berlalu tanpa kau di sisiku,” jawab Fitri.
Sejenak kemudian, datang balasan. “Kasihku, maaf aku harus off line. Semoga kita dapat bersua kembali secepatnya. Semoga perpisahan ini semakin mempererat cinta kita. Wasalam,” tulis Fariz. Segera Fitri membalas,” Sayangku, jangan lupa berdoa pada-Nya. Karena aku selalu selalu menghawatirkan keselamatanmu. Peluk dan ciumku untukmu. Wassalamualaikum, Wr. Wb.,” jawab Fitri. Namun belum sempat Fitri mengirimkan pesan. Fariz sudah off line. Semuanya tampak buru-buru.
***********

Pernikahannya dengan Fariz, bagaikan diujung duri. Ia sangat mencintai Fariz, tetapi sangat membenci profesinya sebagai awak kapal pesiar. Hidupnya penuh resiko. Terbayangkan kapal besar itu akan tampak mengecil ditengah luas lautan. Dan berapa ratus kali gelombang akan menghantam. Mungkin kali ini Fariz pulang, entah kapan ia pulang tinggal nama.
 Kumandang takbir serasa menyayat hati. Apalagi ia dirumah sendiri. Ditatapnya foto sang suami yang tampak gagah berseragam putih-putih. Sejenak kemudian, dihidupkannya mesin mobil. Derum suara mesin, menghilangkan kekalutan hatinya. Sendiri Fitri menyusuri malam sudut Jakarta. Riuh rendah gema takbir terdengar semakin jelas. Mobil dan motor melaju kencang memburu waktu. Hingga saatnya mereka tak lagi bergerak, terjebak kemacetan.
 Potret kemiskinan semakin Nampak. Ibu-ibu menggendong anak, menengadahkan cangkir plastik meminta sedekah. Fitri tidak perduli, toh itu pemandangan biasa. Semakin diberi, semakin banyak jumlahnya. Bukankah pengemis di Jakarta, pengemis professional. Bahkan sampai menyewa anak agar mendapat uang semakin banyak.
**********

 Sinis Fitri tersenyum, melihat komersialisasi kemiskinan. Berlahan mobilnya dipinggirkan kemudian diparkir di halaman sebuah mesjid. Ia memang pergi untuk membayar zakat di Mesjid. Dua zakat fitrah untuknya dan untuk Fariz suaminya. Tak lupa ia memberi infaq untuk penjaga mesjid yang telah lama dikenalnya.
  Bergegas Fitri memasuki mobil. Lampu menyala seiring dengan deru mesin. Tak sengaja sorot lampu menyinari sesosok tubuh bocah lugu. Ia masih berusia empat tahun, berbaju lusuh sobek di lengan. Ia menggandeng adiknya yang mungkin berusia dua atau tiga tahun. Di belakangnya nampak perempuan muda berusia dibawahnya menggendong bayi dengan kain batik yang pudar warnanya.
  Anak laki-laki itu terlihat tanpa beban. Bercanda dengan adik perempuannya, menemani orang tuanya mengemis di malam lebaran. Hati kecil Fitri tersentuh, betapa hatinya kini penuh dengan motivasi peribadi, hingga tidak lagi se”fitri” anak kecil itu.
  Di matikannya mesin mobil. Didekatinya keluarga itu. Sang Ibu muda nampak terkejut dan sedikit takut. Tidak dengan anak-anak itu. Mereka seolah tidak perduli dengan kehadiran Fitri.
  Dari sang Ibu muda, Fitri mendapat cerita. Ia terpaksa mengemis hanya untuk membelikan anak-anaknya baju lebaran. Rasanya tak tega bila mereka berbaju kusut saat Hari Raya. Dan memang, anak-anak memperoleh baju baru hanya saat lebaran. Upahnya sebagai buruh cuci tidak mencukupi. Sementara suaminya…..ah ia tidak mungkin berharap lagi.
  Anak kecil, tanpa baju lebaran. Hanya akan menjadi bahan ejekan teman-teman. Lebih baik tidak makan. Fitripun teringat masa kecilnya. Betapa ia akan kecewa lebaran tanpa baju baru. Firasat Fitri mengatakan, mereka bukanlah pengemis professional, seperti yang berjejer dipinggir jalan. Mereka korban, ketidakberfihakannya pembangunan.
Segera Fitri memberikan dua lembar uang seratus ribuan. Sang Ibu muda menatap wajah Fitri tanpa percaya. Tangannya bergetar menerimanya. Ia berjanji mengembalikan uang itu, namun Fitri menolaknya. “Terimalah Dik, tidak usah berfikir kapan untuk mengembalikan. Akupun tidak tahu kapan kita akan ketemu,” ucap Fitri.
  Sang Ibu muda menangis sambil mencium tangan Fitri. Anak-anak berlari mendekat. “Asyiiik, emak dapat duit. Kita jadi beli baju lebarankan ?” Kata anak laki-laki. Adik perempuannya hanya diam. Terus memakan sebungkus snack, bekal yang dibawanya. Hanya matanya yang bulat menatap wajah Fitri dengan tajam. Jam menunjukkan pukul 20:30, masih ada waktu untuk memburu baju lebaran.
********


No comments:

Post a Comment