Saturday 31 October 2015

Suara Bintang Terdengar Hingga ke Jepang

Suara Bintang Terdengar Hingga ke Jepang Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Perjalanan kisah hidupnya baru di mulai ketika merasakan apa yang dinamakan merantau, pengalaman yang mengenakan, menyedihkan bahkan yang berbuah penyesalan sudah dirasakan secara “kenyang” olehnya. Niat tulus untuk melanjutkan pendidikan di sebuah perguruan tinggi di luar kotanya membuat hasrat untuk lebih sukses menggema dalam relung jiwanya, walaupun sebagian tetangganya berbisik dan terdengar oleh telinga panasnya.
“anaku saja yang pintar melanjutkan kuliah disini kok, ngapain keluar kota segala, sudah tau di kota kita mempunyai universitas yang sudah terakreditasi” sahut tetangga berisik.

Memang, di kota asalnya sudah memiliki beberapa universitas dan semuanya sudah terakreditasi, tetapi hati kecil berkata, bukan hanya mencari intisari pendidikan semata dan title sarjana saja, dirinya ingin mencari pengalaman berharga dan ingin hidup mandiri, jauh dari orang tua dan sanak keluarga.

Bintang, kini aku melanjutkan kuliah di universitas matahari, ini adalah universitas yang akan ditempuhnya selama dia berkuliah. Aku sangat berterimakasih kepada tetangganya yang pernah mengatakan “ngapain keluar kota segala, sudah tau di kota kita mempunyai universitas yang sudah terakreditasi” karena hal itu menambah seman
... baca selengkapnya di Suara Bintang Terdengar Hingga ke Jepang Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Thursday 29 October 2015

Menerobos Belenggu Asumsi

Menerobos Belenggu Asumsi Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Anda ingin lebih kreatif? Salah satu kiatnya, pertanyakan asumsi yang menjadi landasan proses berpikir Anda, lalu buang asumsi yang tidak relevan, atau segera ubah asumsi Anda.

Kita hidup dengan banyak sekali berasumsi. Dengan kata lain, kita mengandaikan banyak sekali hal. Asumsi inilah yang kemudian melandasi proses berpikir kita, perilaku dan sikap kita terhadap segala pernik kehidupan.

Karena itu, ada tragika di dalam asumsi. Dia sekaligus memfasilitasi dan membatasi kita. Dia membebaskan sekaligus membelenggu kita. Dia memberanikan kita sekaligus membuat kita takut. Dia memberi kita keyakinan sekaligus membuat kita ragu.

Kenapa begitu? Karena asumsi selalu menggariskan batas-batas. Di dalam kerangka batas-batasnya kita yakin, berani, mudah, bebas bergerak. Sebaliknya, persis di luar garis batas itu kita ragu, takut, sulit, terbelenggu. Kalau asumsinya begitu kuat, batas dan belenggunya biasanya juga kuat.

Saya yakin banyak di antara pembaca yang sudah mengetahui cara memecahkan soal ini: Ada sembilan titik, diatur sedemikian rupa sehingga kalau dihubungkan akan membentuk empat persegi panjang atau bujur sangkar sempurna. Perintahnya: hubungkan semua titik itu dengan garis lurus dengan ketentuan set
... baca selengkapnya di Menerobos Belenggu Asumsi Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Wednesday 28 October 2015

Wiro Sableng #70 : Ki Ageng Tunggul Akhirat

Wiro Sableng #70 : Ki Ageng Tunggul Akhirat Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1WIRO SABLENG

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Karya: Bastian Tito

Episode : KI AGENG TUNGGUL KEPARAT

PANGKAL BAHALA

Hujan rintik-rintik turun sejak pagi. Teluk Burung diselimuti kabut tebal. Dalam udara yang buruk itu seorang penunggang kuda berbaju biru dan mengenakan blangkon bergerak di antara batu-batu besar yang terhampar di seantero tempat. Mukanya yang hitam boleh dikatakan bukan wajah manusia. Lebih tepat dikatakan sebagai wajah setan. Di pipi kirinya ada cacat bekas luka memanjang mulai dari ujung bibir sempai ke mata. Mata ini sendiri tampak terbujur ke luar, kelopak bawah membeliak merah dan selalu basah. Akibat cacat di pipi kiri itu mulut orang ini tertarik ke atas hingga gigi-giginya yang besar-besar menjorok ke luar!

Sebenarnya kuda coklat dan penunggangnya sudah sama-sama sangat letih saat itu. Beberapa kali kaki-kaki kuda terantuk atau terpeleset di bebatuan licin. Si penunggang sendiri dengan segala sisa kekuatan dan harapan untuk hidup mencoba membawa kudanya ke jurusan Timur, sampai di sebuah lamping bukit batu yang solah membentuk dinding panjang dari Timur ke Selatan. Di salah satu bagian dinding batu, orang ini hentikan kudanya lalu memandang berkeliling. Hujan rintik-rintik telah berhenti. Nam
... baca selengkapnya di Wiro Sableng #70 : Ki Ageng Tunggul Akhirat Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Tuesday 27 October 2015

Keberanian Nadhia

Keberanian Nadhia Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Nadhia mengamati bangunan yang berdinding kayu dan berlantai semen tanpa keramik di hadapannya. Bangunan tersebut cukup besar namun terkesan kotor. SMP Pelita Harapan nama sekolah itu, akan menjadi tempat Nadhia menimba ilmu mulai sekarang. Gadis kecil yang berusia 13 tahun itu menghela nafas kemudian merapikan jilbabnya dan mulai memasuki halaman sekolah yang tak begitu luas dengan tiang bendera yang sudah berkarat, tepat berada di tengah halaman. Benderanya sudah terlihat lusuh melambai-lambai dimainkan angin yang berhembus pagi ini. Para siswa siswi terlihat asyik dengan kegiatan mereka tanpa memperhatikan Nadhia, siswi kelas tujuh yang akan menjadi anggota baru di SMP Pelita Harapan.

Pak Ahmad, ayah Nadhia dulunya adalah staff karyawan kantor pajak di kota Palembang. Dia dipecat karena telah membuka rahasia atasannya atas tindakan penggelapan uang kantor. Kedudukan yang lemah dapat dikalahkan sekalipun itu suatu kebenaran. Nadhia begitu kesal mengetahui hal tersebut. Apalagi dia harus pindah sekolah dari SMP Negeri 1 di Palembang ke SMP Pelita Harapan, yang merupakan satu-satunya SMP di desa yang sekarang menj
... baca selengkapnya di Keberanian Nadhia Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Monday 26 October 2015

Aku Juga Wanita

Aku Juga Wanita Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Entah berapa juta-juta kali kata-kata cemoohan dan cibiran itu keluar dari mulut setiap orang yang mengetahui keadaanya. Bahkan yang paling ekstrim ada yang sampai mengutuk dan memvonisnya sebagai penghuni neraka. Mereka tak sadar siapa mereka. Mereka manusia, bukanlah Tuhan. Sama seperti dia. Tapi inilah kelemahan manusia, selalu merasa diri menjadi paling baik dan paling suci dibanding manusia lainya. Bahkan yang mengutuk bukan hanya dari kalangan yang main-main. Yang paling mengerikan adalah kemarin, ketika acara pengajian rutin ibu-ibu setiap hari selasa. Sang penceramah membawa tema tentang kaum Nabi Luth. Tak ayal, semua mata tertuju padanya. Sakit, jelas terasa di hati. Tetapi dia mencoba bersabar. Ini adalah ujian dari Tuhan. Ujian seberapa kuat kah dia dalam perjuangan ini. seberapa layak kah dia menjadi yang sekarang ini. Dan dalam ujian itu, dia berharap Tuhan meluluskanya.

Dia bernama Anisa Septiani. Sebelum operasi lima belas tahun yang lalu, dia bernama Yayan Septiana. Ketika menjadi Yayan, Anisa selalu merasa dirin
... baca selengkapnya di Aku Juga Wanita Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Wiro Sableng #165 : Bayi Titisan

Wiro Sableng #165 : Bayi Titisan Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1WIRO SABLENG

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Karya: Bastian Tito

Episode : SI CANTIK GILA DARI GUNUNG GEDE

SEJAK Ken Permata ketitisan roh Nyi Harum Sarti, Datuk Rao Basaluang Ameh melihat banyak perubahan terjadi atas diri bayi yang berusia hampir dua tahun itu. Dari hari ke sehari tubuh anak perempuan Nyi Retno Mantili dari suaminya yang mendiang Patih Kerajaan bernama Wira Bumi itu mengalami pertumbuhan pesat. Tubuh bertambah besar dan bertambah tinggi. Dalam waktu beberapa bulan saja keadaan Ken Permata tidak beda dengan seorang anak yang telah berusia lima tahun. Bicaranya lancar. Ucapan-ucapan cerdik seperti seorang dewasa. Apa yang terjadi dengan anak itu tidak lepas dari perhatian Mande Saleha, perempuan yang menjaga Ken Permata sejak masih orok.

Suatu hari ketika anak perempuan itu bermain-main di luar ditemani harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau, Mande Saleha menemui Datuk Rao Basaluang Ameh di dalam goa batu pualam. (Mande = ibu) Sebenarnya dia ingin membawa serta Baiduri, Ibu Susu Ken Permata. Tapi perempuan separuh baya ini akhirnya memutuskan untuk datang seorang diri saja. Ketika dia masuk ke dalam goa batu pualam, sang Datuk tengah membaca khidmat
... baca selengkapnya di Wiro Sableng #165 : Bayi Titisan Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Management Class (Kuliah Manajemen) – Departement of Management, College of Economics and Management – Bogor Agricultural University Lectures Prof. Dr. Ir. Ujang Sumarwan, M.Sc

Dalam mengelola suatu lingkungan yang lebih luas cakupannya,  dalam lingkungan global misalnya, tantangan yang dihadapi akan menjadi lebih besar. Hal ini terjadi salah satunya karena adanya perbedaan-perbedaan, baik dalam hal budaya, politik maupun ekonomi. Beruntunglah Bangsa Indonesia memiliki bahasa persatuan yang lebih dikenal dengan Bahasa Indonesia sehingga perbedaan-perbedaan yang ada tidak menjadi penghalang kemajuan tetapi justru menjadi pemicu semangat untuk bersatu dan mempersatukan diri demi cita-cita dan tujuan bersama dalam hal ini sebagaimana yang tercantum dalam dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut terlihat bahwa tidak ada pihak-pihak atau suku-suku di Indonesia yang memprotes dijadikannya bahasa Melayu yang lebih dikenal kemudian dengan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Kelebihan lain dari Bahasa Indonesia ialah sifatnya yang egalitarian, mudah (simple) dan dapat diterima.
Selain adanya perbedaan-perbedaan tersebut, tantangan lain dalam mengelola lingkungan global yaitu munculnya para pesaing baru secara tiba-tiba,  adanya peningkatan ketidakpastian, ketakutan dan kegelisahan yang dialami masyarakat, penyesuaian terhadap perubahan lingkungan global serta yang paling penting yaitu menghindari “parokialisme”. Parokialisme merupakan sudut pandang (perspektif) yang memiliki pandangan sempit terhadap dunia atau dengan kata lain tidak melihat sudut pandang orang lain tetapi melihat dunia dari sudut pandang dirinya saja serta tidak mengakui bahwa orang lain hidup dan bekerja dengan cara yang berbeda. Secara umum, terdapat tiga sudut pandang dalam melihat dunia yaitu sikap etnosentris, polisentris dan geosentris. Sikap etnosentris ialah suatu keyakinan parokialistis yang memandang bahwa pendekatan dan praktek kerja yang paling baik adalah yang berasal dari negara asalnya. Sikap polisentris merupakan pandangan bahwa para manajer di negeri tuan rumah (host country) lebih mengetahui pendekatan dan praktik terbaik untuk menjalankan bisnis sehingga orang-orang lokal lah yang ditempatkan sebagai manajer karena mereka dinilai lebih tahu situasi dan kondisi di daerahnya. Terakhir, sikap geosentris yaitu suatu pandangan berorientasi dunia yang memusatkan perhatian pada penggunaan dan pendekatan orang yang terbaik dari seluruh dunia sehingga siapa pun bisa bekerja dan menjadi manajer asalkan memiliki keahlian atau skill yang lebih baik.
Dampak dari adanya pengelolaan pada suatu lingkungan global atau lebih dikenal dengan globalisasi ialah timbulnya kerja sama atau perjanjian perdagangan yang mempengaruhi persaingan (kompetisi) global, baik untuk skala regional maupun secara global. Beberapa contoh perjanjian perdagangan regional, yaitu: The European Union (EU), merupakan pasar tunggal yang menghapuskan hambatan dalam hal bepergian, pekerjaan, investasi dan perdagangan sebagai upaya untuk menghadapi kekuatan ekonomi  dari AS dan Jepang; North American Free Trade Agreement (NAFTA), menghubungkan perekonomian AS, Meksiko dan Kanada dengan menghapuskan hambatan atas perdagangan bebas; blok perdagangan bebas di Amerika Latin seperti Free Trade Area of Americas (FTAA) dan Southern Cone Common Market (Mercosur); Association of Southeast Asian Nations (ASEAN); dan African Union. Sedangkan perjanjian perdagangan global misalnya The World Trade Organization (WTO) yang berfungsi sebagai organisasi global yang mengatur perdagangan antar negara, mengawasi dan mempromosikan perdagangan dunia dan saat ini memiliki 145 negara anggota.
Organisasi global terdiri dari tiga jenis, yaitu: Multinational Corporation (MNC), Transnational Corporation (TNC) dan Borderless Organization. Pertama, Multinational Corporation (MNC) merupakan perusahaan dengan pendekatan etnosentris karena menjalankan operasional di banyak negara tetapi pembuatan keputusan utama dilakukan di perusahaan di negara asal. Contoh: Sony, ExxonMobil, Deutsche Bank. Kedua, Transnational Corporation (TNC) merupakan organisasi dengan pendekatan polisentris karena menjalankan operasional di banyak negara dengan cara mendesentralisasikan pengelolaan perusahaan (terutama strategi pemasaran) pada manajemen lokal. Contoh: McD. Ketiga, Borderless Organization atau organasasi tanpa batas negara merupakan perusahaan dengan pendekatan geosentris karena menjalankan operasional di banyak negara dengan cara menghilangkan hambatan geografis yang bersifat artifisial melalui penghapusan pembagian divisi berdasarkan negara (penghapusan divisi struktural).
Terdapat tiga tahap proses globalisasi atau tahapan-tahapan perusahaan menjadi global yaitu sebagai berikut:
Tahapan I – Passive Response:
–   Melakukan ekspor (menjual produk yang dibuat di dalam negeri ke luar negeri) atau impor (menjual produk yang dibuat di luar negeri di pasar dalam negeri)
–    Merupakan langkah yang membutuhkan investasi paling minim dan dengan risiko yang paling minim pula. Umumnya perusahaan memulai bisnis global dengan cara ini.
Tahapan II – Initial Overt Entry (Langkah awal memasuki pasar luar negeri dengan cara yang lebih jelas/terbuka)
–    Upaya yang dapat dilakukan:
¤ Menjual produk di pasar asing dengan cara mengirimkan karyawan perusahaan ke luar negeri untuk melakukan perjalanan bisnis secara rutin atau melalui perantaraan agen/perwakilan di negara asing.
¤  Membuat kontrak dengan perusahaan lain di luar negeri untuk membuat produk perusahaan. Contoh: Nike.
–    Perusahaan tidak memiliki karyawan di luar negeri.
Tahapan III – Established International Operations (Operasional secara internasional):
–    Merupakan upaya paling intensif dalam mengejar pasar global.
–    Upaya-upaya yang mungkin dilakukan:
¤  Menjual lisensi/hak waralaba, yakni menjual hak kepada perusahaan lain untuk menggunakan nama merek, teknologi, atau spesifikasi produk/jasa perusahaan. Lisensi, untuk perusahaan manufaktur sedangkan waralaba untuk perusahaan jasa.
¤ Aliansi Strategis, merupakan kemitraan antara perusahaan dengan perusahaan asing, dimana kedua perusahaan saling berbagi sumber daya dan pengetahuan serta risiko dan imbal hasil.
¤ Perusahaan Patungan (Joint Venture), antara perusahaan dengan perusahaan asing sepakat untuk membentuk perusahaan baru yang terpisah dan independent dari kedua perusahaan.
¤ Anak Perusahaan di Luar Negeri (foreign subsidiary), membutuhkan investasi langsung di negara lain untuk pendirian kantor atau fasilitas produksi baru yang terpisah & independen. Upaya ini merupakan upaya yang membutuhkan paling banyak sumber daya dan memiliki risiko terbesar.
Peralihan dari satu tahapan ke tahapan selanjutnya membutuhkan investasi yang makin besar dan dengan risiko yang kian besar pula.
Hal paling penting yang harus dilakukan oleh setiap individu, organisasi maupun negara dalam mengelola lingkungan global (globalisasi) ialah melakukan reposisi dalam menghadapi tantangan-tantangan sekaligus harus mampu memanfaatkan setiap kesempatan yang diakibatkan dengan kata lain harus mampu melihat peluang dalam setiap tantangan bukan sebaliknya, melihat tantangan dalam setiap peluang.

Laode Nurdiansyah – Department of Geophysics and Meteorology,  Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Bogor Agricultural University

Bagaimana Stakeholder bekerja dalam sebuah organisasi? Apa pengaruhnya bagi keputusan manajerial dan budaya organisasi?
Laode Nurdiansyah – Department of Geophysics and Meteorology,  Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Bogor Agricultural University

Kelas pengantar manajemen tentunya memiliki budaya. Apakah budaya itu berpotensi menghambat dosen? lihatlah tujuh dimensi organisasi. Pilihlah unsur kebudayaan itu, dan jelaskan!
Kelas pengantar manjemen tentunya memiliki budaya karena terdiri dari individu-individu. Namun ada unsur dari dimensi organisasi yang ada pada kelas manajemen menurut kami yang menghambat dosen yaitu orientasi hasil. Kelas pengantar manajemen terdiri dari mahasiswa-mahasiswa minor dari berbagai departemen dan mayor yang tentunya mengharapkan nilai akhir yang bagus. Dengan hanya memperhatikan orientasi hasil, secara tidak langsung kurang menitikberatkan pada proses. Sehingga dosen pun kesulitan untuk mengetahui apakah mahasiswa pengantar manajemen dapat menyerap ilmu dengan baik atau tidak.
Laode Nurdiansyah – Department of Geophysics and Meteorology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Bogor Agricultural University

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita mendengar istilah manajemen atau manajer. Untuk lebih memahami istilah tersebut, ada baiknya jika kita mendefinisikan dahulu istilah-istilah tersebut. Kata Manajemen berasal dari bahasa Perancis kuno yaitu ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Menurut Ricky W. Griffin, manajemen adalah sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efesien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan. Sedangkan efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal. Sehingga dengan kata lain, efektif menyangkut tujuan dan efisien menyangkut cara dan lamanya suatu proses mencapai tujuan tersebut. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa manajer adalah orang yang bekerja sama dan memanfaatkan orang lain dengan cara mengoordinasikan dan mengintegrasikan aktivitas kerja untuk mencapai tujuan.


Ada empat hal dasar yang dilakukan oleh seorang manajer, yaitu: Perencanaan (Planning), Pengorganisasian (Organizing), Pengarahan (Actuating/Directing), dan Pengawasan (Controlling). Perencanaan merupakan proses yang menyangkut upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi kecenderungan di masa yang akan datang dan penentuan strategi dan taktik yang tepat  untuk mewujudkan target dan tujuan organisasi. Pengorganisasian merupakan proses yang menyangkut bagaimana strategi dan taktik yang telah dirumuskan dalam perencanaan didesain dalam sebuah struktur organisasi yang tepat dan tangguh, sistem dan lingkungan organisasi yang kondusif, dan dapat memastikan bahwa semua pihak dalam organisasi dapat bekerja secara efektif dan efisien guna pencapaian tujuan organisasi. Pengarahan merupakan proses implementasi program agar dapat dijalankan oleh seluruh pihak dalam organisasi serta proses memotivasi agar semua pihak tersebut dapat menjalankan tanggungjawabnya dengan penuh kesadaran dan produktifitas yang tinggi. Sedangkan pengawasan merupakan proses yang dilakukan untuk memastikan seluruh rangkaian kegiatan yang telah direncanakan, diorganisasikan dan diimplementasikan dapat berjalan sesuai dengan target yang diharapkan sekalipun berbagai perubahan terjadi dalam lingkungan yang dihadapi.


Manager dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, yang terdiri dari tingkatan paling atas hingga paling bawah, yaitu Top Managers, Middle Managers, First Line Managers, dan non Managerial Employees. Top Managers ialah orang yang mengoordinasikan suatu organisasi secara keseluruhan seperti Rektor, Ayah, Presiden, dll.,Middle Managers dan First Line Managers ialah orang yang mengoordinasikan  orang lain di bawahnya dalam bidang tertentu misalnya Kepala Bagian atau Kepala Departemen, sedangkan non Managerial Employees bertugas mengoordinasikan diri sendiri dan apa yang dikerjakannya misalnya Karyawan. Setiap tingkatan memiliki pendekatan skillsmasing-masing. Top Managers memiliki pendekatan konsep berfikir, yang mengatur segala keputusan kebijakan. Middle Managers dan First Line Managers memiliki pendekatan humanis atau bekerja sama. Sedangkan terakhir, non Managerial Employeesmemiliki pendekatan teknis.

Sunday 25 October 2015

Kesalahan Ketika Anda Ingin Memulai Bisnis

Kesalahan Ketika Anda Ingin Memulai Bisnis Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Oleh: Erika Untung

Apa yang diperlukan untuk memulai sebuah usaha? Banyak uang? Sebuah tempat yang luas untuk menaruh usaha Anda? Motivasi? Jika Anda telah memiliki semua itu, Anda tidak perlu untuk memulai sebuah usaha (karena kemungkinan besar Anda telah memilikinya).

Saya sering menghadiri beberapa seminar motivasi dan pelatihan yang berkaitan dengan entrepreneurship. Dalam benak saya, para pembicaranya sangat bagus, tidak ada yang salah dengan mereka. Tapi kenapa sebagian besar peserta hanya memiliki semangatnya pada waktu itu saja? Kemudian, mereka tetap tidak berusaha membangun usaha mereka sendiri.

Jadi, saya ingin sedikit membagikan pengalaman saya di sini. Dari apa yang telah saya lakukan. Kesalahan apa yang banyak dilakukan seseorang yang ingin memulai sebuah usaha, dari sudut pandang Anda.

1. Terlalu Fokus Hanya pada Apa yang Anda Suka Ya, ini adalah fakta pertama. Mari kita bahas dalam sebuah kasus. Anggaplah Anda datang dari latar belakang pendidikan computer. Anda senang untuk membuat program, menuliskan kode-kode tersebut dengan baik menggunakan teknologi terakhir atau cara paling cerdas. Namun, Anda hanya melihat dan memikirkannya dari segi teknikal. Secara terus menerus Anda bertanya kepada diri sendiri bagaimana untuk membuat
... baca selengkapnya di Kesalahan Ketika Anda Ingin Memulai Bisnis Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

6 Tips Aman Berasuransi


Terlalu banyak pilihan produk asuransi bisa jadi membingungkan. Tetapi jika sudah tahu jenis yang dibutuhkan, Anda dapat segera melakukan langkah-langkah ini untuk menentukan pilihan dan berasuransi dengan aman.
1.  Belanja Info 

Seperti halnya mencari barang kebutuhan, ketika mencari asuransi sebaiknya Anda menetapkan 3 produk untuk dibandingkan. Lakukan riset informasi dengan internet atau berbicara pada seorang agen asuransi. Informasi detail yang didapatkan akan membantu Anda membuat keputusan.
2.  Hubungi Agen 
Langsung menghubungi agen asuransi adalah langkah yang sangat tepat. Agen akan membantu Anda membuat perbandingkan. Ingat, bahwa agen asuransi yang baik tidak segera menawarkan produk asuransi; sebaliknya ia akan lebih dulu mencari tahu kebutuhan Anda. 
3. Jadilah Nasabah dari Satu Perusahaan Asuransi 
Biasanya, perusahaan asuransi mempunyai program diskon untuk produk kedua, ketiga dan seterusnya yang akan dibeli. Jika Anda membutuhkan jenis asuransi yang lain, segera kontak agen Anda, untuk mendapatkan informasi tersebut. Selain manfaat diskon, Anda juga tidak perlu membuang waktu untuk menjalani proses awal, karena perusahaan telah memiliki data Anda.
4. Cara Menghindari Klaim 
Keindahan berasuransi adalah apapun risiko yang dialami akan dilindungi. Sebagai nasabah, Anda tidak perlu mencemaskan kejadian buruk yang berhubugan dengan obyek asuransi. Tetapi, jika risiko yang terjadi relatif kecil, seperti; mobil tergores, atau agak penyok karena diseruduk motor, sebaiknya ditangani sendiri. Hal ini disebabkan karena klaim-klaim kecil berpengaruh dan menurunkan nilai pertanggungan secara keseluruhan. 
5. Meningkatkan Deductible 
Pada prinsipnya deductible adalah barometer negosiasi rate asuransi, semakin tinggi deductible, maka makin rendah rate asuransi. Deductible adalah komitmen tertanggung, agar ikut bertanggung jawab atas obyek asuransi. Jadi deductible adalah unsur yang penting untuk diperhatikan selain informasi premi, uang pertanggungan dan diskon, agar tidak kaget ketika mengajukan klaim. 

6. Periode Pembayaran Premi 

Premi asuransi dapat dibayarkan setiap bulan. Setiap kali membayar, kemungkinan akan ada biaya administrasi yang dikenakan. Inilah sebabnya perusahaan asuransi menawarkan fasilitas pembayaran setiap periode tertentu yang relatif panjang, seperti; per tahun, atau per enam bulan. Demi kepentingan jangka panjang, sebaiknya memikirkan untuk tidak terlalu sering membayar premi, karena relatif lebih dapat berhemat.

Jenis Asuransi Jiwa Sesuai Tahap Kehidupan


Seiring berjalannya waktu kebutuhan setiap orang cenderung meningkat. Hal ini memengaruhi gaya hidup serta risiko yang mungkin terjadi. Bisa jadi ketika masih lajang, asuransi jiwa bukanlah prioritas utama. Tetapi ketika mulai berkeluarga, tentunya timbul kebutuhan untuk melindungi keluarga; maka tak heran jika terpikir untuk memiliki asuransi.
1. Masa Lajang
Sekalipun masih sendiri, para ahli keuangan menganjurkan agar para lajang yang telah mandiri tetap memiliki asuransi. Alasan yang paling mendasar adalah asuransi dapat melindungi Anda dari risiko pekerjaan atau, dari kewajiban membantu keluarga yang tergantung pada Anda. Asuransi yang dibutuhkan adalah asuransi jiwa untuk mendukung keluarga Anda jika terjadi risiko yang paling buruk, kehilangan jiwa saat bekerja, misalnya.
Memiliki asuransi jiwa di usia yang relatif muda akan sangat baik, karena biaya pertanggungan relatif tinggi, sementara premi yang dibayarkan relatif kecil karena kondisi kesehatan yang relatif baik di usia muda.
Kebanyakan asuransi jiwa yang dibeli oleh bujangan muda adalah asuransi yang terkait dengan kewajiban, misalnya asuransi jiwa untuk kredit pemilikan rumah atau kendaraan dan pinjaman lainnya. Asuransi tersebut biasanya otomatis dibelikan oleh bank atau lembaga keuangan atas nama Anda di awal pinjaman.
2. Menikah dan Berumahtangga
Saat ini, umumnya pasangan baru menikah tanpa anak cenderung menunda memiliki asuransi jiwa. Pasangan cenderung menyiapkan rumah dan kendaraan. Tetapi terpikirkah jika salah satu dari pasangan meninggal? Kondisi ini justru akan menciptakan bencana finansial bagi pasangan yang ditinggalkan. Setelah membeli rumah, situasinya mulai berubah; akan timbul angsuran rumah, biaya perabot, seluruh biaya itu secara tiba-tiba akan ditanggung sendiri oleh salah satu dari pasangan yang masih hidup.
Demi memastikan pasangan yang ditinggalkan tidak menanggung "beban" finansial sendirian, sangat disarankan agar selain menyiapkan kebutuhan utama keluarga, sisihkanlah sebagian kecil pendapatan untuk membeli asuransi jiwa. Hal ini akan memberi dampak psikologis yang menenangkan, karena telah melindungi pasangan dari kekacauan finansial jika risiko yang terburuk terjadi.
3. Memiliki Anak
Setelah memiliki anak-anak, umumnya kebutuhan akan asuransi jiwa mencapai puncaknya. Rasa cemas jika risiko terjadi saat anak-anak masih sekolah mengharuskan para pencari nafkah memiliki asuransi jiwa. Perusahaan asuransi jiwa akan memberikan perlindungan agar kondisi finansial keluarga Anda tidak terpuruk, sekalipun Anda meninggal. Uang pertanggungan yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi bisa dijadikan sumber biaya kebutuhan menyekolahkan anak.
4. Mengembangkan Karier
Bagi seseorang yang berorientasi mengembangkan karier, berpindah-pindah kerja adalah salah satu cara yang ditempuh. Jika Anda dalam kondisi ini, sebaiknya pertimbangkan untuk selalu mengevaluasi status asuransi jiwa. Biasanya perusahaan Anda bekerja sudah memberikan asuransi jiwa, namun ketika berganti pekerjaan proteksi itu tentu berakhir.
Pastikan bahwa di perusahaan yang baru Anda mendapatkan asuransi, atau jika perlu membeli asuransi jiwa sendiri, coba hubungi perusahaan asuransi yang menjamin Anda di kantor lama; beberapa perusahaan asuransi, Anda bisa mengubah pertanggungan asuransi jiwa yang lama, yang merupakan asuransi kumpulan, menjadi asuransi jiwa individu dengan uang pertanggungan yang sama, tanpa proses underwriting lagi. Cobalah mengeksplorasi kemungkinan ini.
Pastikan jumlah pertanggungan selau ter-update karena kebutuhan yang terus meningkat, terutama jika memiliki anak, hutang bisnis, serta perencanaan masa depan. Jika tidak maka Anda akan membebani keluarga ketika Anda tidak ada nanti.
5. Masa Tua
Pada fase ini kebutuhan perlindungan asuransi tidak lagi sebesar sebelumnya. Tapi bukan berarti Anda tak memerlukan asuransi jiwa. Justru pada tahapan kehidupan ini kebutuhan asuransi jiwa tetap diperlukan untuk tujuan tertentu. Perusahaan asuransi menawarkan asuransi untuk dana pensiun. Manfaat asuransi ini untuk membiayai hari tua Anda atau sebagai dana warisan kepada anak dan cucu tersayang.
Pikirkanlah matang-matang tentang hal ini, dan sebaiknya bertindak dengan bijak untuk mengantisipasi risiko sesuai tahapan hidup Anda saat ini.

5 Tips Mencapai Keuangan Keluarga yang Sehat


Mencapai keuangan yang sehat sama halnya seperti mencapai kondisi tubuh yang sehat dan bugar. Pengeluaran yang lebih besar daripada pemasukan dapat mendatangkan ‘penyakit’ dalam hidup Anda. Namun, mengelola keuangan keluarga yang sehat bukanlah perkara mudah. Coba simak tips sukses mengelola keuangan keluarga yang sehat berikut ini:
1. Kenali lalu lintas keuangan keluarga Anda
Wajib untuk mengetahui jumlah pemasukan, tabungan dan pengeluaran Anda setiap bulannya. Catat seluruh pengeluaran Anda untuk keperluan sehari-hari termasuk: tagihan listrik, telepon, perawatan mobil, biaya periksa dokter, cicilan rumah, dan lain-lain.
2. Atur rencana keuangan yang realistis
Rencana keuangan yang realistis membantu Anda bersikap obyektif soal pengeluaran yang berlebihan. Anggarkan jumlah yang realistis dan Anda pun harus patuh dengan anggaran tersebut. Jalani gaya hidup sesuai dengan tingkat yang Anda mampu.
3. Pertimbangkan dengan baik antara "kebutuhan" dan "keinginan"
Tak jarang kita membelanjakan uang untuk hal yang tidak kita butuhkan dan hanya karena keinginan sesaat. Buatlah daftar untuk item belanja, lalu tentukan setiap item belanja, apakah barang tersebut merupakan kebutuhan dan keinginan.
4. Hindari hutang dan berinvestasilah!
Jangan mudah tergoda untuk membeli berbagai benda secara kredit. Tumbuhkan kebiasaan keuangan yang sehat dengan tidak memiliki hutang konsumtif. Lalu mulailah berinvestasi dan konsultasikan dengan ahli keuangan yang handal!
5. Tetapkan tujuan atau cita-cita finansial
Tetapkan tujuan keuangan Anda yang spesifik, realistis, terukur dan dalam kurun waktu tertentu, sehingga membantu Anda lebih fokus merancang keuangan. Misalnya: bercita-cita memiliki rumah dua tingkat di kawasan elit.

7 Tips Penting untuk Pemegang Polis


Sering kali kita mendengar tentang gagal klaim asuransi atau proses klaim yang panjang, sulit dan memakan waktu, juga “penipuan” oleh pihak penerbit asuransi. Nah, sebelum memutuskan untuk membeli polis asuransi jiwa, ada baiknya Anda menganalisa dan mencari informasi mengenai asuransi yang akan dipilih. Berikut ini adalah tips-tips yang dapat menjadi pertimbangan Anda sebelum mengantongi polis asuransi:
1. Teliti sebelum membeli 

Luangkan waktu untuk membaca seteliti mungkin seluruh ketentuan dalam polis, jadwal perlindungan dan manfaatnya. Alangkah lebih baik lagi, jika Anda membandingkan penawaran yang satu dengan yang lainnya. Tentu hal ini tidak mudah tetapi ingatlah setiap penerbit asuransi menyediakan cakupan perlindungan berbeda, dengan premi berbeda pula. Premi bisa juga ditetapkan berbeda karena perbedaan skor kredit, usia, jenis kelamin, dan status pernikahan. Batasan apa pun yang disebutkan dalam polis akan mempengaruhi proses klaim Anda nantinya
2. Pastikan penerbit asuransi memiliki reputasi dan kekuatan keuangan yang solid 
Pastikan perusahaan asuransi tersebut memiliki catatan reputasi dan kondisi keuangan yang kuat dan sehat. Perusahaan asuransi pilihan Anda harus cakap dalam mengembangkan aset,yang merupakan akumulasi dari dana milik para pemegang polis . Cek, apakah pernah terjadi isu-isu di masa lalu yang perlu Anda waspadai? 
3. Ada biaya untuk asuransi, tapi tanpa asuransi bisa-bisa Anda membayar lebih mahal
Nilai premi juga menjadi pertimbangan bagi Anda, tetapi itu bukan satu-satunya faktor untuk memilih perusahaan asuransi. Merupakan langkah yang tidak bijaksana bila preferensi pilihan Anda semata-mata karena faktor harga.
4. Tentukan nilai perlindungan 
Saat mengajukan klaim, jumlah pertanggungan yang Anda terima sesuai dengan kesepakatan awal dengan penerbit asuransi dan sesuai dengan nilai premi yang Anda bayarkan. Pastikan perlindungan Anda memadai! 
5. Untuk yang masih sendiri, sudah menikah, atau yang sudah keluarga? 
Jika Anda dan pasangan sama-sama  memiliki asuransi, hitung ulang nilai perlindungan yang diperlukan dan preminya. Mana yang lebih murah: Membayar untuk Anda dan pasangan secara terpisah, ataukah cukup menanggung salah seorang saja? 

6.  Ungkapkan sejujurnya 

Asuransi menggunakan prinsip “Utmost Good Faith” atau prinsip “Itikad Baik Sepenuhnya”. Menutup-nutupi sejumlah fakta demi premi lebih murah akan menambah masalah. Penerbit asuransi pasti akan melakukan penyelidikan sebelum membayarkan manfaat Anda.

7. Simpan dokumen polis asuransi di tempat aman

Penyimpanan dokumen ini penting, sehingga Anda bisa dengan mudah menemukannya saat mengajukan klaim atau mengecek perlindungan.

Yang Mana Dulu Ya? Rumah, Asuransi, atau Investasi?


Sangat dianjurkan untuk merencanakan keuangan keluarga sedini mungkin guna membangun stabilitas keuangan (financial security) di masa mendatang. Perencanaan keuangan keluarga ini akan memberikan dampak positif dalam jangka waktu panjang. Agar Anda terhindar dari masalah finansial yang mungkin dihadapi, berikut ini adalah pertimbangan yang dapat menentukan prioritas Anda dalam mempersiapkan perencanaan keuangan:
1. Mulailah dari proteksi berupa asuransi 

Kejadian tidak diinginkan seperti kecelakaan atau kematian bisa datang kapan saja dan kepada siapapun. Ketika Anda mengalami musibah, keluarga atau bisnis Anda memiliki kemungkinan akan menghadapi masalah finansial. Tidak ada waktu untuk menunggu hasil investasi atau keuntungan bisnis agar dapat membayar biaya berobat. Disinilah fungsi asuransi, karena tidak tergantikan oleh instrumen finansial apapun karena dapat memberikan perlindungan pada saat yang dibutuhkan. Asuransi jiwa itu terus melekat dan memproteksi Anda.
2. Memiliki rumah 
Memiliki rumah merupakan idaman setiap keluarga. Semakin terbatasnya luas lahan yang boleh ditempati dan semakin banyaknya jumlah manusia menyebabkan harga tanah terus meningkat. Tersedianya fasilitas KPR cukup membantu masyarakat dalam memperoleh rumah sesegera mungkin. Namun, tetap diperlukan kejelian dalam menghitung kemampuan finansial Anda untuk membayar cicilan KPR tersebut. 
3. Investasi 
Investasi dapat memberikan hasil yang cukup menggiurkan dan dapat membantu meningkatkan status ekonomi Anda. Zaman sekarang tidak sulit untuk menemukan peluang investasi. Yang diperlukan adalah tujuan investasi jangka panjang yang jelas sehingga modal yang dikeluarkan dapat disesuaikan dengan keadaan saat ini. Mungkin Anda bisa memulai investasi untuk tujuan kebutuhan pensiun nanti, atau kebutuhan kuliah si kecil 16 – 17 tahun yang akan datang.

7 Penyakit Orang Kantoran


Pekerja kantoran banyak menghabiskan waktunya  di meja kerja. Kurangnya aktivitas fisik selama bekerja di kantor dapat berakibat buruk pada kesehatan dan memicu berbagai penyakit. Berikut ini adalah 7 masalah kesehatan yang sering mengganggu pekerja kantoran, antara lain:
1.  Postur tubuh yang buruk dan nyeri leher

Posisi duduk yang membungkuk ketika bekerja dapat menyebabkan postur tubuh buruk. Kursi yang tidak dapat memberikan sandaran yang baik pada kepala dapat menyebabkan ketegangan, nyeri leher dan sakit kepala.
2.  Saraf terjepit 
Hal ini disebabkan karena terjepitnya saraf leher yang meluas ke lengan, tangan dan juga terperangkap dalam otot dada yang melintasi sendi bahu. 
3. Sindrom Carpal Tunnel 
Sindrom ini memiliki gejala seperti adanya nyeri, rasa kesemutan, serta baal di jari tangan. Gangguan timbul karena penekanan mekanis yang berulang dan ritmis, seperti mengetik. Jika Anda mengetik dengan posisi lengan sedikit miring ke atas maka dapat meningkatkan risiko sindrom ini.
4. Nyeri punggung bawah 
Nyeri punggung bawah sering mempengaruhi orang-orang yang duduk sepanjang hari atau kursi yang kurang mendukung kurva lumbal atau punggung bagian bawah. 
5. Stres, kecemasan dan kurangnya motivasi 
Kurangnya aktivitas fisik karena sepanjang hari duduk di meja kerja dapat menyebabkan masalah kesehatan mental seperti stres dan kecemasan, yang nantinya dapat menyebabkan berkurangnya motivasi dan menurunkan produktivitas kerja. 

6.  Bakteri 

Meja kerja, dalam hal kandungan bakterinya, ternyata lebih kotor dibanding toilet. Jadi pastikan  untuk rajin membersihkan meja.

7. Mata lelah
Pekerjaan yang memaksa Anda menatap layar komputer setiap hari dapat membuat mata Anda kering dan lelah namun tidak akan merusak mata secara permanen.
Lakukanlah gerakan peegangan yang mudah disela-sela kesibukan Anda agar terhindar dari penyakit-penyakit ini.

PROFILE OF AN ENTREPRENEUR

If you think you want to be your own boss and run your own business, but are not sure you have the right qualifications to be an entrepreneur, read on. What are the characteristics of an entrepreneur? How does an entrepreneur think? Is your personal profile similar to that of a successful entrepreneur?
Until recently, entrepreneurs were not widely studied. There was a general lack of knowledge and information about what made them tick. The recent interest in revitalizing America's dormant productivity has changed all that. Most business universities now offer courses in entrepreneurship. As a result, business professionals have learned a lot about what it takes to become a successful entrepreneur. Although no one has found the perfect entrepreneurial profile, there are many characteristics that show up repeatedly. In the sections that follow, we'll cover several important characteristics of entrepreneurs for you to consider and dispel the entrepreneurial myths.
A series of interviews were conducted with distinguished entrepreneurs. They were asked what characteristics they felt were essential to success as an entrepreneur. Good health was a characteristic mentioned by every entrepreneur interviewed. Entrepreneurs are physically resilient and in good health. They can work for extended periods of time, and while they are in the process of building their business, they refuse to get sick.
In small businesses, where there is no depth of management, the leader must be there. You may not be able to afford a support staff to cover all business functions, and therefore you will need to work long hours. We all know people who use part of their sick leave each year when they are not sick. Entrepreneurs are not found in this group. At the end of the eight-hour day, when everyone else leaves for home, the entrepreneur will often continue to work into the evening, developing new business ideas.
Entrepreneurs do not function well in structured organizations and do not like someone having authority over them. Most believe they can do the job better than anyone else and will strive for maximum responsibility and accountability. They enjoy creating business strategies and thrive on the process of achieving their goals. Once they achieve a goal, they quickly replace it with a greater goal. They strive to exert whatever influence they can over future events.
In large, structured organizations, entrepreneurs are easy to recognize by the statements they make: "If they wanted that job done right, they should have given it to me." A dominant characteristic of entrepreneurs is their belief that they are smarter than their peers and superiors. They have a compelling need to do their own thing in their own way. They need the freedom to choose and to act according to their own perception of what actions will result in success.
Entrepreneurs are self-confident when they are in control of what they're doing and working alone. They tackle problems immediately with confidence and are persistent in their pursuit of their objectives. Most are at their best in the face of adversity, since they thrive on their own self-confidence.
Entrepreneurs have a never-ending sense of urgency to develop their ideas. Inactivity makes them impatient, tense, and uneasy. They thrive on activity and are not likely to be found sitting on a bank fishing unless the fish are biting. When they are in the entrepreneurial mode, they are more likely to be found getting things done instead of fishing.
Entrepreneurs prefer individual sports, such as golf, skiing, or tennis, over team sports. They prefer games in which their own brawn and brain directly influence the outcome and pace of the game. They have drive and high energy levels, they are achievement-oriented, and they are tireless in the pursuit of their goals.
Successful entrepreneurs can comprehend complex situations that may include planning, making strategic decisions, and working on multiple business ideas simultaneously. They are farsighted and aware of important details, and they will continuously review all possibilities to achieve their business objectives. At the same time, they devote their energy to completing the tasks immediately before them.
Accounting reports illustrate this characteristic. Accountants spend hours balancing the accounts and closing them out. For them, the achievement is to have balanced books. The entrepreneur only wants to know the magnitude of the numbers and their significance for the operation of the business.
Entrepreneurs accept things as they are and deal with them accordingly. They may or may not be idealistic, but they are seldom unrealistic. They will change their direction when they see that change will improve their prospects for achieving their goals. They want to know the status of a given situation at all times. News interests them if it is timely, and factual, and provides them with information they need. They will verify any information they receive before they use it in making a decision. Entrepreneurs say what they mean and assume that everyone else does too. They tend to be too trusting and may not be sufficiently suspicious in their business dealings with other people.
Entrepreneurs possess the ability to identify relationships quickly in the midst of complex situations. They identify problems and begin working on their solution faster than other people. They are not troubled by ambiguity and uncertainty because they are used to solving problems. Entrepreneurs are natural leaders and are usually the first to identify a problem to be overcome. If it is pointed out to them that their solution to a problem will not work for some valid reason, they will quickly identify an alternative problem-solving approach.
Entrepreneurs find satisfaction in symbols of success that are external to themselves. They like the business they have built to be praised, but they are often embarrassed by praise directed at them personally. Their egos do not prevent them from seeking facts, data, and guidance. When they need help, they will not hesitate to admit it especially in areas that are outside of their expertise. During tough business periods, entrepreneurs will concentrate their resources and energies on essential business operations. They want to be where the action is and will not stay in the office for extended periods of time.
Symbols of achievement such as position have little relevance to them. Successful entrepreneurs find their satisfaction of status needs in the performance of their business, not in the appearance they present to their peers and to the public. They will postpone acquiring status items like a luxury car until they are certain that their business is stable.
Entrepreneurs are more concerned with people's accomplishments than with their feelings. They generally avoid becoming personally involved and will not hesitate to sever relationships that could hinder the progress of their business. During the business-building period, when resources are scarce, they seldom devote time to dealing with satisfying people's feelings beyond what is essential to achieving their goals.
Their lack of sensitivity to people's feelings can cause turmoil and turnover in their organization. Entrepreneurs are impatient and drive themselves and everyone around them. They don't have the tolerance or empathy necessary for team building unless it's their team, and they will delegate very few key decisions.
As the business grows and assumes an organizational structure, entrepreneurs go through a classic management crisis. For many of them, their need for control makes it difficult for them to delegate authority in the way that a structured organization demands. Their strong direct approach induces them to seek information directly from its source, bypassing the structured chains of authority and responsibility. Their moderate interpersonal skills, which were adequate during the start-up phases, will cause them problems as they try to adjust to the structured or corporate organization. Entrepreneurs with good interpersonal skills will be able to adjust and survive as their organization grows and becomes more structured. The rest won't make it.

Entrepreneurs have a considerable amount of self-control and can handle business pressures. They are comfortable in stress situations and are challenged rather than discouraged by setbacks or failures. Entrepreneurs are uncomfortable when things are going well. They'll frequently find some new activity on which to vent their pent-up energy. They are not content to leave well enough alone. Entrepreneurs tend to handle people problems with action plans without empathy. Their moderate interpersonal skills are often inadequate to provide for stable relationships. However, the divorce rate among entrepreneurs is about average.

Part II: Exercise

1.      How many characteristics of entrepreneur based on the text?
2.      When do the entrepreneurs have self confidence?
3.      Do entrepreneurs like team sports?
4.      What is the importance of sense of urgency?
5.      Why are the entrepreneur seldom unrealistic?

Part III: Summary

Successful entrepreneur must have several characteristics such as self-control, self-confidence, sense of urgency, comprehensive awareness, realism, conceptual ability, status requirements, inter personal relationships and emotional stability. They can do the job better than anyone else and will strive for maximum responsibility and accountability. They work at their best in the face of adversity. They have a never-ending sense of urgency to develop their ideas. They can comprehend complex situations that and working on multiple business ideas simultaneously. They accept things as they are and deal with them accordingly.


 

Part IV: Evaluation

6.      An entrepreneur has many importance characteristics, which is the most important one? Why?
7.      Is Entrepreneurship inborn? Elaborate your answer!
8.      Why Good Health is essential to success?
9.      Why does Entrepreneur find it hard to work well in a structured organization?
10.  What does the expression “They are not likely to be found sitting on a bank fishing unless the fish are biting” mean?
11.  What distinguishes an Entrepreneur from Accountant?
12.  Do you think that it is necessary to have fortune teller to have them start business?
13.  Why are Entrepreneurs reluctant to pass the authority to other people?
14.  Why do Entrepreneurs tend to handle people problems with action plans without empathy?
15.  Why does the marital life of Entrepreneur tend to end in divorce?
1.      (TRUE/FALSE)    Ambiguity and uncertainty hinder an Entrepreneur problem solving
2.      (TRUE/FALSE)    Entrepreneur like playing football
3.      (TRUE/FALSE)    As soon as starting business Entrepreneur will buy a Jaguar
4.      (TRUE/FALSE)    Entrepreneur like hanging out.
5.      (TRUE/FALSE)    Entrepreneur doesn’t take an input for granted.
6.      (TRUE/FALSE)    Entrepreneurs know how to control themselves when handling business pressures.
7.      (TRUE/FALSE)    Entrepreneurs tend to ignore personal problems when handling people.
8.      (TRUE/FALSE)    Entrepreneurs need good interpersonal skills to survive.
1.      Self control
2.      Sensitivity
3.      Professional
4.      Empathy
5.      Authority

•  power   •   apathy   •   compassion   •   right   •   talent    •  expert  •
  feeling   •  hedonism  •   willpower
 
 
































belRunning late: dealing with chronically late employees who cost the company in productivity and morale

HR Magazine,  Nov, 2005  by Diana DeLonzor

President Bill Clinton, Robert Redford and Naomi Campbell are all reputed members of the better-late-than-never club that also includes up to 20 percent of the U.S. population. If your employees are card-carrying members as well, they're not only among esteemed company, they're also dragging down the business.

Tardiness costs U.S. businesses more than $3 billion each year in lost productivity. The effect on the bottom line of the average business is significant: An employee who is late 10 minutes each day has, by the end of the year, taken the equivalent of a week's paid vacation. Adding to the total cost is the ripple effect of late-starting meetings as productivity is impacted throughout an entire organization.

During the past several decades, lateness has gradually been on the rise in U.S. businesses. In 2004, while conducting follow-up research for my book, Never Be Late Again: 7 Cures for the Punctually Challenged, I conducted a survey of human resource managers and found that 73 percent reported tardiness to be growing worse. Many managers cited decreasing employee morale and increasing work and family responsibilities as causes. With the recent economic turmoil, employees are feeling more stress and pressure to take on extra workloads, according to the survey participants. These factors, coupled with a loosening of societal standards, are causing some real changes in priorities.

But managers beware. Although it's tempting to say, "Just get here on time," that's a little like telling a dieter to simply stop eating so much. Chronic lateness is typically a lifelong habit, and one that's surprisingly difficult to overcome.

Of course, there are myriad reasons for chronic lateness, such as job dissatisfaction, promotional or salary-related resentments, or a lax company policy. However, my research has also found that most chronically late people aren't purposefully tardy but instead tend to have difficulty with time management. In a San Francisco State University study investigating chronic lateness and its causes, we found that the punctually challenged often shared certain common personality characteristics such as anxiety, a penchant for thrill-seeking or low levels of self-control.

Chronically late subjects also reported greater procrastination tendencies in general compared to the timely subjects.


Taming Tardiness

While managers often accuse tardy types of wanting attention or of needing to be in control, persistent lateness usually has little to do with those factors. The motivations, rather, are often subconscious ones. Some people are drawn to the adrenaline rush of that last-minute sprint to the finish line, and others receive an ego boost from over-scheduling and filling each moment with an activity. Still others have difficulty conforming to rules and structure.

A combination of prevention, penalties, rewards and coaching are often key to dealing with tardiness on an organizational level. The following simple, four-step process can turn a chronically late workforce into a group of right-on-timers, increasing productivity and morale at the same time.

1     Establish a corporate culture that encourages punctuality. Work with HR to create a written punctuality policy with clearly defined penalties. Communicate the policy in all new hire orientations, enlist sign-on from all managers and enforce it consistently. Penalties may include written warnings, suspension, pay docking and termination. Be sure to check your state's employment codes prior to setting the policy. Time-critical companies such as United Parcel Service attribute their success in part to this type of regular reinforcement of company policy.

2     Discourage late-starting meetings. Send an e-mail reminder a half-hour prior to every meeting asking participants to be on time, or set one up in Microsoft Outlook calendar. Two minutes after the scheduled start time, close the door. Then tackle the most important topics first. Open the door for latecomers, but do not backtrack to fill them in on missed discussions.

3     Establish a system of rewards for employees with perfect attendance and punctuality. Some companies have found that rewards not only incent employees, but also serve as a reminder that punctuality is an important part of company culture. Punctuality incentives are often packaged with attendance records, and rewards can come in the form of anything from free employee parking to department store gift certificates. Managers can use spot bonuses to reward employees who are on time.

4     Deal with lateness on an individual level. Handling lateness on an individual level usually requires some degree of coaching. Although termination is always an option for employees with excessive tardiness, there are times when an otherwise wonderful employee simply needs a nudge in the right direction.

Arrange a meeting with the employee to outline company policies and inquire about extenuating circumstances or logistical problems. Set clear, measurable goals for the future and clarify the consequences for being late. Document your conversation in writing and keep written documentation of future incidents.

© 2007 FindArticles™ - LookSmart, Ltd.






II. Try to answer the questions below based on the reading text.

  1. What tardiness impact on business?
  2. What might causes tardiness?
  3. What kind of people that mostly tard?
  4. Is it easy to change the late behavior? Why?
  5. How to change tardy people to behave in manner?

III. State whether these statements are true or false, clarify when it false

  1. Clinton is always being on time
  2. Clinton, Redford, and Campbell are in the same organization
  3. Wanting attention is mentioned as the most factor that caused persistent lateness
  4. Reward system will warn employees that punctuality is exist
  5. The policy must be in line with state's employment codes

IV. Find the meaning of these words based on reading text

  1. Productivity
  2. Turmoil
  3. Chronic
  4. Penalty
  5. Reward

V. Develop a short paragraph based on questions in part II










Part I: Reading

Corporate social responsibility : HR’s leadership role
In a global economy, increasingly organizations have a responsibility to facilitate, demonstrate and promote corporate social responsibility (CSR). Long-term sustainability demands that organization rethink their business goals and objectives from solely focusing on making a profit to corporate citizenship. Today, the impact of CSR is beginning to be seen in communities throughout the world—from human right and labor practices to health care and the environment. At home and abroad, HR plays a critical role—that of leading and educating their firms regarding the importance of CSR while at the same time strategically implementing sound HR management practices that support the company’s business and CSR goals.
Today, there are many references to corporate social responsibility (CSR), sometimes referred to as corporate citizenship, in our workplaces, in the media, in the government, in our communities. While there is no agreed-upon definition, the World Business Council for Sustainable Development defines CSR as the business commitment and contribution to the quality of life of employees, their families and the local community and society overall to support sustainable economic development. Simply put, the business case for CSR—establishing a positive company reputation and brand in the public eye through good work that yield a competitive edge while at the same time contributing to others—demand that organizations shift from solely focusing on making a profit to including financial, environmental and social responsibility in their core business strategies. Despite what that phrase corporate social responsibility suggest, the concept is not restricted to corporations but rather is intended for most types of organizations, such as associations, labor unions, organization that serve the community for scientific, educational, artistic, public health or charitable purposes, and governmental agencies.
In the late 1990s, CSR began to gain momentum as pressure from consumers, the media, activists and various public organizations demanded that companies contribute to society. In large part, the increasing focus on CSR has been fueled by a number of events in recent years, such as the highly publicized financial scandals of Enron and WorldCom, alleged sweatshop labor by retail clothing and sports shoe manufactures and the alleged “under-the-table” deals that companies such as Halliburton have received. Now, reputation, brand, integrity and trust are increasingly considered important measures of corporate social responsibility.


One of the most visible CSR initiatives is community relations. Strong community relations can have a positive impact on company reputation and brand. Through community programs that highlight the company doing good work, HR can link critical issues—decreasing turnover, savings on cost per hire and attracting talented individuals—to CSR and the bottom line. There are many other possibilities that HR leaders could explore to match both company and community needs (e.g., cultural facilities for the community, recreational facilities for employees and their families, an education project to help prepare tomorrow’s workforce). For example, employees high-tech companies could work with students on science projects that require technical skills.
Company reputation and brand are greatly influenced by public perception. For example, in the largest global survey of the public’s expectations, the millennium poll on corporate social responsibility documented that over 25,000 individuals across 23 countries on six continents revealed they form their impressions of companies by focusing on corporate citizenship and two out of three people want companies to go beyond making money and contribute to broader society goals. Increasingly, there are success stories that show companies are listening to the public. A recent example is that of Ecolab of St. Paul, Minnesota, that quickly developed new products to address unexpected hazards with an antimicrobial disinfectant product in response to food and mouth disease in livestock and another new product to combat SARS at the Toronto airport.
Today, companies are also seeking avenues of public acknowledgment of  their employer brand. For example, Business Ethics Corporate social Responsibility Report publishes a list of the 100 best corporate citizens. Companies are ranked by social scores regarding environment, community and customer relations, employee relationships, and diversity. One of the 2004 winners was Proctor & Gamble, which donated funds to help disadvantaged youth in Vietnam, combat childhood malnutrition in India and provide earthquake relief in Turkey.
Another critical aspect of reputation and brand, as a CSR success factor, is the impact on a company’s sustainability—that is, the conditions or characteristics that support an organization to continue its business, including environmental, social and economic aspects of the company. Ultimately, the environmental, social and economic health of a company transfers into dollars that either directly or indirectly affect reputation and brand, and thus bottom line. For example, a company whose product contributes to the safety of the environment will likely be favorably viewed by the public. Or, a company that supports community events may generate public approval.
Managing investor confidence is another factor supporting the business case for CSR. Today, the financial community is examining organizations’ CSR report cards and their risk profile. The rapid rise of socially responsible investment illustrates that corporate citizenship is becoming a key measure that in investor consider when aligning ethical concern with publicly held corporations.
With the anticipated labor shortage in the next 10 to 25 year, attracting, developing, motivating and retaining talent is, and will continue to be, very important. Correspondingly, CSR influences a company’s competitive advantage today through two key value drivers : 1) company reputation and brand; and 2) human capital. HR leader have begun to assume leadership roles to address both areas. For example, a positive CSR initiative was documented by an employee survey that illustrated the pride of employees regarding their company’s contribution to a local AIDS organization. In addition, the talent war is evidenced by an influx of “ best places to work”.

Part II: Exercise

6.    What is Corporate Social Responsibility?
7.    When and why CSR became popular?
8.    Give examples of events that have triggered CSR.
9.    What kind of CSR initiatives that could highlight company reputation and brand?

Part III: Summary

In a global economy, organizations have a responsibility to facilitate, demonstrate and promote corporate social responsibility (CSR). The World Business Council for Sustainable Development defines CSR as the business commitment and contribution to the quality of life of employees, their families and the local community and society overall to support sustainable economic development. The increasing focus on CSR has been fueled by a number of events in recent years, including the scandals of Enron and WorldCom. Today, CSR influences HR and community Relations, reputation and brand enhancement, and risk management.

Part IV: Evaluation

10. How can close community relations have a positive effect on company reputation and brand?
11. In what ways do CSR bring about positive impacts on a company’s sustainability?
12. Give an example of a company’s CSR program around you.
13. What triggers a company’s competitive advantage through CSR?
14. What is a talent war?
15. What are the most likely ways does a HR leader take to mediate the interest of the company and community?
16. (TRUE/FALSE)   Not all of companies are required to promote Corporate Social Responsibility.
17. (TRUE/FALSE)   Consumer, the media, activities, and various public pressure company to applied CSR?
18. (TRUE/FALSE)   Community affects the company’s reputation and brand.
19. (TRUE/FALSE)   Perception of community around a factory  does not determine the success of a factory.
20. (TRUE/FALSE)   Sido Muncul’s annual program to have a Mudik Bareng during Lebaran’s Day is an example of CSR.
21. Brand
22. Workforce
23. Community
24. Perception
25. Sustainability